Oleh: Sean Popo Hardi*
INDONESIA sebagai bangsa dengan ratusan juta penduduknya dianugerahi oleh Tuhan YME sebuah taman yang indah yaitu taman pluralisme. Taman yang indah ini pula menampung begitu banyak suku bangsa sehingga menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang multikultur.
Berbeda dengan plural, multikultur bukan pemberian (given) tetapi diciptakan oleh masyarakat melalui kebiasaan-kebiasaan atau yang disebut dengan kebudayaan. Van Peursen (1988: 11) menjelaskan bahwa kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti cara ia menghayati kematian, kelahiran, seksualitas, cara mengolah makanan, sopan santun, pertanian, perburuan, peralatan, pakaian, serta cara manusia dalam menghiasi rumah dan badannya.
Kebudayaan merupakan manifestasi kedinamisan situasi sosial, politik dan ekonomi suatu bangsa. Bangsa yang maju pasti memiliki kebudayaan yang tinggi pula.
Misalnya Jepang, dengan budaya disiplin dan kerja kerasnya menjelma menjadi negara pengekspor kebudayaan terbesar dalam bentuk film kartun ke Indonesia. Kartun Tsubasa, Naruto dan Doraemon misalnya, merupakan salah satu contoh ekspor kebudayaan yang mendatangkan devisa bagi negara tersebut.
Transformasi kebudayaan dalam bentuk kartun itu membuat bangsa kita secara tidak sadar telah terjajah oleh soft power negara yang pada zaman penjajahan memiliki visi Pan Asia Timur. Belum lagi serangan dari budaya Eropa dengan film-film Hollywood dan superhero membuat kebudayaan kita semakin tersudutkan.
Untuk mengatasi hal tersebut, strategi budaya memegang peranan penting. Keunikan tiap-tiap daerah di Indonesia sebetulnya mampu menjadi “pemain” dalam sektor budaya dalam skala global. Industri kreatif penting untuk dipersoalkan karena selama ini kebudayaan hanya dianggap sebagai pelengkap sajian jiwa. Padahal dengan pengemasan dan pengelolaan yang baik justru potensi budaya yang ada akan menjadi sumber pemasukan alternatif.
Arthur S Nalan (2008: 395) menyatakan bahwa hanya kebudayaan satu-satunya milik kita yang dapat dibanggakan di dalam kehidupan menjadi warga dunia ini. Lainnya tak ada! Untuk bersaing kekuatan di bidang lain misalnya teknologi, Indonesia akan kalah jauh dari negara yang memiliki teknologi tinggi seperti Eropa.
Arthur telah menegaskan bahwa kekayaan satu-satunya yang menjadi miliki bangsa ini adalah ke-bu-da-ya-an. Dengan ribuan jumlah karya budaya baik benda maupun tak benda menandakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk bersaing di bidang kebudayaan.
Jika menengok kebijakan kebudayaan pasca-kemerdekaan kala itu, Bung Karno membuat suatu rekayasa produk budaya. Tujuannya adalah agar masyarakat menjadi suatu nation/ bangsa Indonesia yang bersatu seutuhnya melalui misi kesenian. Hal ini dapat mempererat rasa kebhinekaan kita pada waktu itu sebagai bangsa yang majemuk dan baru merdeka.
Pada tahun 1960-an, Bung Karno melalui rekayasa budayanya mengumpulkan orang (seniman) dari tiap daerah di suatu tempat di Jakarta untuk misi kebudayaan ke luar negeri. Bung karno juga mewajibkan masing-masing orang untuk menguasai dan memainkan kesenian dari daerah masing-masing seperti tarian dan lagu daerah.
Setelah itu, tim tersebut ditugaskan untuk melaksanakan diplomasi budaya ke beberapa negara. Upaya Bung Karno tersebut telah membuat Indonesia pada awal kemerdekaannya dikenal dan cukup disegani di dunia international berkat strategi diplomasi kebudayaan.
Pada era Soeharto, Dewan Kesenian didirikan di tiap daerah di Indonesia. Dewan kesenian didirikan untuk menjadi penasihat Gubernur dalam bidang kesenian. Hingga saat ini lembaga seni tersebut masih menjalankan fungsinya. Walaupun di tiap-tiap daerah lembaga kesenian tersebut memiliki kendala dan problematikanya masing-masing.
Terlepas dari hal tersebut, lembaga budaya seperti ini memiliki peran dan dampak yang cukup besar bagi pengembangan dan keberlangsungan kesenian yang ada di tiap daerah. Selain itu, munculnya beberapa lembaga budaya lain yang dikelola swasta dalam bentuk yayasan maupun komunitas cukup menambah sarana dalam pengembangan kesenian.