Nafri Dwi Boy*
SERUPA Chairil Anwar, Chory Marbawi meninggal di usia muda. Puisi-puisinya diselamatkan oleh Sean Popo Hardi dan EM Yogiswara. Sebanyak enam puluh puisi yang ditulisnya terhimpun dalam sebuah antologi ini. Buku ini menjadikan nama Chory Marbawi abadi lewat puisinya yang hingga saat ini masih terus dibaca. Beberapa kali puisi Chory digunakan sebagai puisi wajib dalam lomba musikalisasi puisi. Begitulah paragraf pengantar dalam buku puisi yang berjudul Aku Bawakan Cinta Buatmu karya Chory Marbawi untuk menggambarkan proses terbitnya antologi puisi ini.
Puisi adalah jiwa-raga tanpa gerak, tapi bisa dirasa. Bila tubuh penyair merupakan perpaduan jiwa dan raga dan gerak, puisilah jiwa kedua bila Tuhan menjemput. Raga boleh saja terkubur, tapi jiwa tetap abadi lewat bait-bait sajak. Barangkali itulah alasan mengapa setiap puisi mempunyai ruh, yang bisa menghipnotis pembaca. Puisi seolah hidup seperti manusia, tapi tentu saja tidak bisa bergerak. Puisi hanya bisa bergerak dalam otak, meracun paradigma lewat tanda-tanda (simbol) yang disuguhkan penyair.
Karya sastra hakikatnya sebagai kumpulan tanda (Endraswara, 2013: 35). Puisi merupakan bagian tubuh karya sastra yang kaya akan tanda-tanda. Sehingga puisi tidak hanya untuk dibaca saja, tetapi juga dinikmati dalam bentuk interpretasi. Pembaca dituntut untuk bisa mengkaji tanda-tanda sesuai dengan paradigma sendiri. Barangkali itulah yang membuat puisi punya ruh. Sehingga puisi bisa menjadi identitas dari penyair.
Dalam mengkaji puisi karya Chory Marbawi, setidaknya hampir seluruh puisinya menyampaikan tanda-tanda kematian. Salah satu puisi yang dianggap paling banyak menggunakan tanda-tanda maut adalah puisi yang berjudul Suara Kematian Itu.
SUARA KEMATIAN ITU
Suara kematian itu kembali datang
Dari arah persimpangan sayapnya bermain
Menampar keheningan angin
“kalian telah mengaduk-aduk kebeningan cahaya itu
Lewat darah yang berdiri di atas ubun-ubun”
Bibir terjatuh tapak menginjak
Ranjau jantung berdetak
“kalian telah mengalirkan darah dalam dadaku”
Suara kematian yang
Datang dari arah persimpangan itu,
Menikam jantung darah merapatkan detaknya.
(Teater AiR Jambi, 19 November 2007)
Semiotika maut tentang kematian jelas terasa dalam puisi tersebut. Bagaimana Chory Marbawi memanfaatkan citra pendengarannya untuk mendengar suara kematian yang datang dari persimpangan. Bukankah puisi itu lahir dari isu, persoalan, dan permasalahan baik dari penyair atau luar penyair? Lalu apakah konsep itu yang digunakan Chory Marbawi dalam menciptakan puisi tersebut?
Bila benar, kita bisa memposisikan diri sebagai Chory Marbawi untuk membaca tanda-tanda yang ia tulis. Sayangnya, Chory tidak menjelaskan secara rinci persimpangan yang menjadi tanda dalam bait pertama. //Dari arah persimpangan sayapnya bermain// Bisa diinterpretasi kejadian itu terjadi pada suatu persimpangan yang dalam pemikiran saya persimpangan itu antara dunia dan akhirat.