SAROLANGUN - Kami tiba di sebuah sekolah yang tidak jauh dari jalan utama Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Dua orang guru berseragam merah hitam sedang mengajar sekitar sepuluh orang anak berusia sekitar lima sampai tujuh tahun.
Melihat kedatangan kami, anak-anak berlari dan berdiri dibelakang dua guru mereka. Rupanya mereka khawatir. Mereka mengira kami adalah dokter yang mau menyuntik.
Dari depan, terlihat sebuah papan nama “Sekolah Halom Putri Tijah”. Tidak berselang lama, Haji Jaelani datang. Ia masuk ke ruang guru. Haji Jaelani bukan seorang guru. Dia mantan Tumenggung Suku Anak Dalam.
Puteri Tijah yang bernama asli Putri Tijah Sanggul merupakan keturunan raja dalam Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Anak Dalam (SAD). “Dia sebenarnya adalah keturunan Putri Pinang Masak,” jelas Tumenggung Tarip, nama asli Haji Jaelani. Putri Tijah sendiri merupakan istri Tumenggung Tarip.
Dahulu, Tarip susah payah mendapatkan hati Putri Tijah. Hingga keluarlah sebuah istilah “Bukan Pipit menelan jagung, bukan seluang menelan tapah” yang menandakan ketidakmungkinan Tarip yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja untuk dapat meminang seorang putri raja.
Akan tetapi, jodoh tidak ada yang tau. Putri Tijah menjadi istrinya.
Untuk itulah, sekolah yang berada pada lahan yang dimilikinya itu dinamakan Putri Tijah. “Karena (namanya) akan dicatat oleh pemerintah dan PT Sari Aditya Loka bahwa kerajaan kami membina Suku Anak Dalam ini,” tegasnya. Tarip ingin nama Putri Tijah tidak hilang oleh zaman.
“Dulu, tahun 2008, dimulai pembinaan Orang Dalam (SAD) dari PT,” ungkap Tarip. Tarip ditawari oleh PT SAL dalam hal pembinaan anak-anak SAD.
Tentu saja Jaelani mau. Akhirnya, dibuatlah pondok tempat anak-anak belajar di dekat jalan poros.
“Kalau bapak mau didik (anak cucu), kami senang malah,” ungkap Jaelani mengenang pembicaraan pada saat itu. Alasannya, ia ingin generasi SAD tidak seperti dirinya.
Ia menceritakan pengalamannya ketika ke kota yang mengharuskan dirinya membawa pemandu sekadar untuk tanda-tangan. “Jangan sampai anak saya seperti saya,” ungkapnya.
Barulah antara tahun 2011 sampai 2013, PT SAL membangun sekolah yang di tempat yang sekarang mejadi Sekolah Halom Putri Tijah. Di tanah seluas 2.500 meter inilah, Haji Jaelani atau Tumenggung Tarip mewakafkan sekolah Putri Tijah.
“Ini diperuntukkan seumur hidup untuk sekolah. Siapa saja yang mau bantu, pemerintah atau PT silahkan pakai. Yang penting buat pendidikan anak cucu saya,” tegasnya.(*)