Beban Berat 2024, Usul Pisahkan Pilkada dari Pileg dan Pilpres Terancam Kandas di DPR

- Kamis, 11 Februari 2021 | 10:26 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

JAMBI - Sejumlah politisi lokal Jambi masih berharap pemilihan sebagian kepala daerah dimajukan ke 2022 dan 2023. Mereka mendesak revisi Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang No 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, tidak mudah mewujudkan itu.

Ketua DPW PKS Provinsi Jambi Heru Kustanto menyatakan bahwa partainya mengusulkan revisi undang-undang Pilkada, yang memungkinkan pembatalan pilkada serentak 2024, bukan tanpa alasan. Pertama, kata Heru, PKS tidak mau kejadian Pemilu 2019 terulang kembali.

Kala itu, banyak penyelenggaraan pemilu meninggal dunia karena beban berat melaksanakan pemilu presiden dan pemilu legislatif dari tingkat kabupaten/kota hingga nasional secara bersamaan.

Dalam suatu diskusi refleksi Pemilu 2019 di Jakarta pada awal 2020, KPU RI menyebut sebanyak 894 petugas pemilu meninggal dunia selama Pemilu 2019 dan 5.175 petugas jatuh sakit. “Kita tidak ingin itu terulang lagi,” tegas Heru kepada Metro Jambi, Rabu (10/2/2021).

Pasal 201 Undang-Undang Pilkada mengatur, kepala daerah hasil pemilihan 2020 menjabat sampai 2024. Selanjutnya, akan digelar pemungutan suara serentak nasional kepala daerah pada November 2024, bersamaan dengan pemilihan presiden dan anggota legislatif di semua tingkatan.

Daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 juga termasuk yang akan menggelar pemilihan pada 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan menjelang 2024 itu maka akan ditunjuk penjabat atau pelaksana tugas kepala daerah.

Dengan regulasi tersebut, maka pada 2024 akan berlangsung banyak sekali pemilihan. Bila sebelumnya Indonesia pernah menggelar pileg dan pilpres serentak pada 2019, maka pada 2024 akan ditambah dengan pemilihan pimpinan di sejumlah daerah.

Inilah yang dikhawatirkan Heru. \"Kita ingin pilkada, pileg dan pilpres tidak digabung karena ini akan tidak fokus. Dikhawatirkan akan banyak hal-hal yang tidak maksimal, baik dalam penyelenggaraan maupun pengawasan,\" terangnya.

Menurut dia, penunjukan penjabat kepala daerah juga membuat roda pemerintahan tidak berjalan maksimal. “Para pelaksana tugas atau penjabat kepala daerah ini tidak akan fokus bekerja, hasilnya tidak bagus,” tukasnya.

Berbeda dengan Heru, Ketua DPW PAN Provinsi Jambi H Bakri menyatakan partainya tetap bertahan pada pemilu serentak 2024 dengan mempertimbangkan kondisi negara saat ini. “Negara saat ini seharusnya fokus pada penanganan Covid-19,” ujar anggota DPR RI ini, Rabu (10/2/2021).

Menurut dia, penanganan pandemi Covid-19 belum berhasil. Angka kematian terus meningkat. Bila pilkada sebagian daerah digelar pada 2022 atau 2023, dia khawatir akan lebih banyak sebaran virus Covid-19.

Di DPR sendiri, kata dia, pembahasan soal normalisasi jadwal pilkada ini masih alot. \"Apa pun keputusan terakhir nanti adalah yang terbaik,\" ujarnya.

Di Provinsi Jambi, beberapa kepala daerah akan mengakhiri masa jabatan pada 2022, yakni bupati Muarojambi Masnah Busro, Bupati Tebo Sukandar, dan Bupati Sarolangun Cek Endra. Sedangkan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2023 adalah Walikota Jambi Sy Fasha, Bupati Kerinci Adirozal, dan Bupati Merangin Al Haris.

Khusus Cek Endra atau Al Haris bisa mengakhiri jabatan lebih cepat sebab keduanya mencalonkan diri pada Pemilihan Gubernur yang digelar pada 9 Desember 2020 lalu. Keduanya kini sedang bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua DPD II Golkar Muarojambi Ivan Wirata mengatakan bahwa pilkada serentak 2024 merupakan suatu keuntungan baginya pribadi dan partai. “Sebab, masa jabatan saya sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi akan berakhir pada 2024,” ujarnya, Rabu (10/2/2021).

Ivan yang pernah maju sebagai calon bupati Muarojambi memastikan akan bertarung kembali merebut kursi bupati daerah itu pada 2024. “Namun jika terjadi normalisasi pilkada Muarojambi ke 2022, saya pun siap maju,” tegasnya.

Komisioner KPU Provinsi Jambi Apnizal mengakui akan banyak kesulitan yang dihadapi bila pilkada digelar serentak dengan pileg dan pilpres 2024. “Karena itu perlu dievaluasi lagi,” ujar Apnizal, Rabu (10/2/2021).

Tingginya beban kerja, kata dia, akan meningkatkan kasus kematian dan atau sakit di kalangan penyelenggara. “Contohnya waktu Pilpres dan Pileg 2019, lalu banyak penyelenggara meninggal,” katanya. Yang paling krusial, persiapan penyelenggara di tingkat PPS dan KPPS akan semakin berat. “Belum lagi mengatur persiapan dan logistiknya,” ujarnya.

Namun, lanjut Apnizal, KPU tetap akan menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara. Hanya saja, lanjut dia, minimal ada kajian ulang terhadap tahapan pelaksanaan. \"Harus diatur ulang atau ada tahapan yang dikurangi,\" tandasnya.

Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi Muhammad Farizi mengatakan, pemilu dan pilkada diatur dengan undang-udang yang terpisah. Namun, waktunya ditentukan pada 2024.

Dari refleksi dan evaluasi Pileg dan Pilpres 2019 –dengan banyaknya petugas meninggal dunia dan sakit—belakangan muncul usulan normalisasi pilkada.

Jika alasan beban kerja, lanjut dia, pilkada 2024 bisa dilakukan di waktu berbeda dari pileg dan pilpres. Bisa saja, usul dia, pileg dan pilpres serentak, terpisah dari pilkada atau dibuat aturan pileg pusat dan pileg daerah dipisah. Bisa juga, pemilu kepala daerah dan pilpres serentak, terpisah dari pileg.

Dari segi anggaran, menurut dia, pemilu serentak 2024 akan menguntungkan daerah karena dananya dari APBN. “Anggaran paling banyak di Pemilu ini adalah honorium PPK, PPS dan KPPS. Kalau digelar serentak, sedikitnya bisa lebih murah,” kata dia.

Editor: Administrator

Terkini