Oleh : Nopyandri *)
PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Badan atau Pejabat Pemerintahan, seringkali menghadapi suatu kondisi atau peristiwa konkrit yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (semisal terjadinya pandemi covid-19, dll) yang harus segera ditangani. Akan tetapi di sisi lain, peraturan yang ada tidak cukup mengatur atau tidak mengatur secara jelas terhadap persoalan tersebut. Dalam keadaan yang demikian, Pejabat Pemerintah tetap tidak boleh diam atau mendiamkan kondisi itu terjadi tanpa ada suatu upaya untuk mengatasi persoalan.
Oleh karenanya, dengan tetap berdasar pada kewenangan yang dimiliki, Pejabat Pemerintah harus “berani” mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan guna mengatasi dan menyelesaikan peristiwa konkrit yang terjadi di tengah masyarakat tersebut. Dengan berpijak pada adanya kewenangan bebas yang dimiliki Pejabat Pemerintah, maka dapat diambil suatu keputusan atau dilakukannya suatu tindakan atas dasar kemandirian menilai atas apa yang terjadi dan kemandirian memutus atas suatu keputusan berdasarkan kemandirian menilai. Keputusan atau tindakan yang dilakukan atas dasar kewenangan bebas tersebut disebut sebagai diskresi
Wewenang Diskresi
Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Demikian dirumuskan Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Diskresi atau freies ermessen merupakan suatu asas baru dalam lapangan hukum administrasi negara, yang timbul karena ketidakmampuan asas legalitas dalam memenuhi tuntutan ide negara hukum materiil untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Asas diskresi atau freies ermessen juga dapat dipandang sebagai asas yang bertujuan untuk mengisi kekurangan atau melengkapi asas legalitas supaya cita-cita negara hukum materiil dapat diwujudkan.
Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum, dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Penggunaan wewenang diskresi oleh Pejabat Pemerintah tidak boleh sembarangan, sebab Pasal 24 UUAP mengatur adanya syarat-syarat untuk menggunakan diskresi, yaitu:
a. sesuai tujuan diskresi
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Sesuai dengan AUPB
d. Berdasarkan alas an-alasan yang objektif
e. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan etikad baik
Etikad Baik
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang –undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat–sifat atau ciri –ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Pada mulanya, Itikad baik merupakan asas hukum khusus yang lebih dikenal dalam bidang hukum perdata. Akan tetapi seiring perkembangan zaman yang diikuti perkembangan hukum, maka itikad baik tidak saja hanya merupakan asas hukum yang bersifat khusus yang dikenal dalam bidang hukum perdata saja namun telah menjadi asas hukum umum yang juga digunakan dalam keluarga hukum privat dan juga dalam hukum publik. Dalam bidang hukum publik, asas etikad baik telah dijadikan sebagai salah satu asas hukum, di antaranya adalah dalam UUAP.
Memperhatikan syarat-syarat penggunaan diskresi dalam UUAP, yang paling menarik adalah dimuatnya asas etikad baik, dan penekanan bahwa harus dilakukan dengan etikad baik. Dalam Penjelasan Pasal 24 huruf f UUAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dilakukan dengan etikad baik adalah didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Dalam KUH Perdata, istilah Itikad baik dapat dimaknai dalam dua pengertian, yaitu itikad baik dalam pengertian subjektif dan itikad baik dalam pengertian objektif. Menurut Siti Ismijati Jenie (2007), etikad baik dalam pengertian subjektif yaitu kejujuran. Itikad baik dalam arti subjektif merupakan sikap batin atau suasana jiwa. dan itikad baik dalam pengertian objektif, yang bermakna kepatutan.
Makna etikad baik dalam UUAP sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 24 huruf f, yaitu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB. Dengan batasan ini, maka makna itikad baik dalam UU No. 30 Tahun 2014 merupakan pengertian dalam arti subjektif sebagaimana batasan etikad baik menurut KUHPerdata.
Makna etikad baik dalam UUAP berkesesuaian dengan makna etikad baik dalam arti subjektif dalam KUH Perdata. Artinya, dalam melakukan diskresi, selain memperhatikan syarat-syarat lainnya, pejabat pemerintah harus memastikan bahwa keputusan atau tindakan yang dilakukan tersebut secara jujur memang sesuai dengan substansi, tujuan, dan prosedur sebagaimana diatur dalam UUAP.
Apabila Pejabat Pemerintah yang menggunakan wewenang diskresinya dapat membuktikan bahwa keputusan atau tindakan yang dilakukan adalah sesuai dengan ketentuan penggunaan wewenang diskresi dan memenuhi syarat penggunaan diskresi maka yang bersangkutan tentu dapat lepas dari sangkaan hukum. Lebih-lebih jika yang bersangkutan dapat memastikan bahwa diskresi yang dilakukannya adalah berdasarkan etikad baik, sebagaimana maksud Pasal 22 UUAP.
*) Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Jambi (nopyandri@unja.ac.id)