• Kamis, 21 September 2023

Cara Melayu Jambi Menyampaikan Kritik

- Minggu, 14 Februari 2021 | 06:26 WIB

 Oleh: Musri Nauli*)

DI TENGAH masyarakat Melayu Jambi, cara menyampaikan kritik dapat berupa seloko, perumpamaan ataupun menyampaikan dengan tutur tinggi.

Teringat beberapa waktu yang lalu, ketika temanku yang kuundang menjadi pembicara di tengah kampung. Jauh dari Jambi. Apalagi ibukota.

Tempat yang jangankan signal HP, listrik saja masih menggunakan mesin genset yang dipastikan hanya hidup dari jam 6 sore hingga jam 10 malam.

Kalaupun ada kegiatan, maka persediaan solar atau bensin ditambah. Sehingga dapat mengikuti kegiatan sampai jam 12 malam.

Ketika kudapatkan kabar sang pembicara – dengan alasan teknis tidak bisa datang, segera kukabarkan ke kampung.

Namun bukannya marah ataupun kecewa karena tidak datang. Namun hanya berujar pendek.

“Belum rejeki, bang!!!, kata sang pembawa pesan.

Dengan enteng kusampaikan jawaban dari kampung kepada pemberi materi.

Namun karena dia berasal dari kampung, jawaban kampung membuat dia tersedak.

“Ampun, bang. Segera kuagendakan datang,” katanya panik.

Aku belum sadar makna “belum rejeki”. Kupikir jawaban pendek cuma sekedar menutupi kekecewaan.

Namun di hari lain baru kusadari. Setelah sang pemateri pulang dari kampung menunaikan janji.

“Maknanya dalam, bang. Itu adalah bentuk ungkapan rendah hati dari masyarakat. Namun dalam tutur di tengah kampung, jawaban itu adalah kekecewaan”. Dan saya tidak mau mengecewakan mereka yang sudah berharap. Bisa kualat saya,” katanya menjelaskan.

Akupun menggangguk. Berusaha memahami makna dan simbol yang dituturkan dari kampung.

Atau kisah yang lain. Ketika pejabat  yang ditunggu dikampung. Namun ternyata terlambat hingga 2 jam dari rencana yang disusun.

Setelah “berbasa-basi”, bak seloko Jambi “cerita setelah penat, berunding setelah makan”, barulah salah satu tokoh menyampaikan kepada pejabat.

“Kami pikir bapak ada halangan di Jalan. Kami sudah cemas apabila ada halangan. Alhamdulilah. Ternyata bapak sampai juga,” kata sang tokoh masyarakat.

Tentu saja sang pejabat tersenyum simpul. Malu terlambat datang dari rencananya.

Aku yang mendengar cerita itu kemudian tertawa. Menertawakan bagaimana “cara kritik” terhadap keterlambatan pejabat.

Cara masyarakat Melayu Jambi didalam mengungkapkan kekecewaan ataupun mengungkapkan kritikannya adalah “Seni diplomasi” dan tutur tingkat tinggi.

Hanya orang yang mempunyai pengetahuan tentang tutur bahasa dan pemahaman yang mumpuni bisa menerjemahkan kritikan ataupun kekecewaan dengan rendah hati.

Bukankah elegan menyampaikan kritikan ataupun kekecewaan dengan tutur dan dan diplomasi?

Cara penyampaikan dengan “sedikit melipir” adalah kekuatan teknik diplomasi masyarakat Melayu Jambi.

Lalu mengapa kita tidak belajar dari masyarakat? Yang menyampaikan maksud dan tujuan untuk menutupi kegundahan hatinya dengan rendah hati.

 
*) Advokat. Tinggal di Jambi

Editor: Administrator

Terkini

Hak Milik dan Izin

Selasa, 19 September 2023 | 14:48 WIB

Hukum Alam Dalam Pembelajaran

Selasa, 29 Agustus 2023 | 09:58 WIB

Kemerdekaan dan Sabotase Diri

Kamis, 17 Agustus 2023 | 08:14 WIB

Tafsir 'Bajingan dan Tolol'

Rabu, 16 Agustus 2023 | 09:14 WIB

Lengser Keprabon, Mandig Pandito

Jumat, 11 Agustus 2023 | 10:14 WIB

Black Box Pembelajaran

Senin, 24 Juli 2023 | 08:51 WIB

Perkawinan dan Perbuatan Pidana

Sabtu, 22 Juli 2023 | 17:49 WIB

Izin dan Sertifikasi

Jumat, 7 Juli 2023 | 07:23 WIB

Libur dan Muhasabah Profesional

Senin, 26 Juni 2023 | 10:14 WIB

Guru ‘Bermuka Dua’

Senin, 5 Juni 2023 | 13:51 WIB

Tanggung Jawab Suami

Rabu, 24 Mei 2023 | 18:59 WIB

Resiko Bisnis atau Korupsi

Kamis, 11 Mei 2023 | 20:16 WIB

Media dan Marketing Politik

Minggu, 7 Mei 2023 | 16:37 WIB

Percakapan “Akademik’ Guru

Jumat, 5 Mei 2023 | 16:26 WIB

Diam-diam Memupuk Rindu Pada Sastra

Rabu, 3 Mei 2023 | 11:58 WIB
X