Mengukur Kinerja dan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg

- Senin, 13 Maret 2023 | 08:45 WIB

Oleh: Amri Ikhsan*

‘HATI yang sedang berbunga bunga’ adalah ungkapan yang bisa dirasakan oleh sebagian guru, karena disamping mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TFG) sebagai bukti guru profesional, mereka juga dianugerahi Tunjangan Kinerja atau Tukin (baca-selisih Tukin) sebagai bukti produktivitas kinerja guru dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya sebagai tenaga pendidik.

Ini sebagai wujud apresiasi pemerintah terhadap guru dalam perannya mendidik anak bangsa, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

Kinerja guru merupakan kata kunci ‘anugerah’ ini. Kata inilah yang menjadi patokan dalam pemberian apresiasi ini. Memang tidak mudah mengukur kinerja seseorang, banyak hal yang patut menjadi variabel yang menunjukkan kualitas dan kuantitas kinerja seseorang.

Penilaian kinerja guru tidak semudah yang diperkirakan banyak orang: Pertama, tukin berhubungan dengan keuangan negara yang wajib dipertanggung jawabkan oleh penerima. Satu rupiahpun harus dibuktikan. Disamping itu, tunjangan ini juga terkait dengan atasan penerima, penanggung jawab keuangan dan pihak pihak terkait.

Kedua, kinerja guru ‘belum’ bisa dilihat dari dokumen perencanaan pembelajaran, misalnya membuat silabus dan RPP. Ini hanya sebagian kecil tugas guru. Kinerja ‘hakiki’ seorang guru adalah bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa sehingga ilmu yang disampaikan dipahami dengan seksama oleh mereka dan ilmu itu berguna dalam kehidupan mereka. Dan proses pembelajaran inilah merupakan inti dari pendidikan.

Ketiga, berbeda dengan pegawai administrasi, kinerjanya bisa langsung terlihat, misalnya, mengkonsep dan mengetik surat, meng-upload data, tapi kinerja guru ada yang bersifat abstrak dan hasilnya tidak bisa dirasakan pada saat sekarang. Hasil mengajar dan mendidik guru akan dirasakan lima sampai 10 tahun yang akan datang.

Oleh karena itu, kualitas kinerja guru tidak bisa dipisahkan dari kemampuannya dalam menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional sebagai pendidik (ujione.id). Kinerja seorang guru adalah mendisain proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk belajar sepenuh hati, dengan memilih materi pembelajaran yang menarik dan variatif, disampaikan dengan strategi yang tepat, serta evaluasi penuh motivasi.

Kinerja guru pada dasarnya merupakan unjuk kerja yang dilakukan oleh guru dalam ‘ruang kecil’ bernama ruang kelas. Apa yang dilakukan guru dalam ruang kecil ini sangat menentukan kualitas dan kuantitas kinerja. Kinerja mengajar dikatakan berkualitas apabila siswa ‘menikmati’ interaksi dan komunikasi dengan guru dan membuat siswa termotivasi untuk belajar.

Guru sebagai pendidik profesional harus menjalankan tugas pokok merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih siswa. Ini harus ditopang oleh kompetensi: pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian (Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007) dan ditambah persyaratan ‘birokratif’: memenuhi tugas 37,5 jam per minggu atau memenuhi tugas 24 jam.

Harus diingat bahwa pemberian tunjangan kinerja berpegang pada merit system, yaitu penetapan besarnya tunjangan kinerja harus berbasis kinerja, bobot pekerjaan dan peringkat (grade) masing-masing jabatan dan berdasarkan absensi elektronik atau kehadiran, kinerja atau capaian kerja, dan disiplin pegawai. ASN akan menerima tunjangan full apabila tugasnya dapat diselesaikan secara menyeluruh. (Kominfo)

Para stakeholder mestinya mempertimbangkan menggunakan informasi dari siswa (Sudrajat) untuk mengidentifikasi kinerja guru. Sebenarnya, siswalah yang paling mengenal kinerja guru: masuk apa tidak guru dalam proses pembelajaran, berkualitas atau tidak pembelajaran akan mudah terjawab apabila dikonfirmasi kepada siswa.

Boleh dikatakan, siswalah tempat ‘bercermin’ untuk melihat performa guru dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Kinerja guru akan jelas terlihat dari prestasi belajar siswa. Kinerja guru yang baik akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang baik maupun sebaliknya.

Dengan menggunakan teknik mirroring (bercermin pada siswa) ini, diyakini, guru lebih ‘serius’ dalam melaksanakan pembelajaran. Karena diyakini ‘anak anak’ tidak mau berbohong. Untuk lebih menyakinkan, penilai bisa melakukan trianggulasi data dengan menanya siswa dengan kelas berbeda, waktu yang berbeda dan dengan cara yang berbeda.

Memang tidak mudah mengukur kinerja seseorang. Penilai memang harus dibekali dengan ilmu ‘metodologi penelitian’ agar data yang diperoleh lebih valid, reliabel dan objektif.

Kalau tidak, akan berlaku prinsip ketidakpastian Heisenberg. Prinsip Ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa kamu tidak bisa secara bersamaan mengetahui posisi dan kecepatan sebuah benda secara tepat. Karena semua hal di alam semesta memiliki sifat partikel dan gelombang secara bersamaan. (Addison Anderson)

Seperti halnya kita kita ingin mengejar mobil didepan kita, kalau kita terfokus pada ‘mobil’ maka kita tidak dengan sempurna melihat jalan, begitu pula, kalau kita fokus pada jalan yang akan dilalui dalam mengejar mobil itu, maka kiat tidak dapat melihat mobil dengan sempurna.

Belajar dari prinsip ketidapastian Heisenberg, diasumsikan kinerja itu bersifat dinamis dan tidak sepenuhnya dapat diprediksi secara tepat untuk masing masing ASN. Oleh karena itu, dalam menilai kinerja, kita tidak mungkin mengukur aspek tertentu, dan membuat kesimpulan kualitas kinerja tanpa memperhitungkan faktor lain.

Dalam konteks kehadiran, ada banyak ‘fakta’ yang mempengaruhi kehadiran atau keterlambatan: sinyal, jenis smartphone, cuaca, kecepatan internet, faktor lupa, dll. Ini menyiratkan bahwa kita harus memperhitungkan baik apa yang kita amati dan apa yang tidak kita lakukan (unja.ac.id).

Dalam konteks ini, bukannya kita tidak bisa memperhatikan atau mengukur semua aspek, tetapi semakin kita fokus pada sesuatu dan semakin tepat dan teliti kita dalam sesuatu itu, semakin sedikit kita mampu menilai sesuatu yang berbeda pada saat yang bersamaan. Artinya, semakin kita terfokus pada faktor kehadiran, maka faktor pembelajaran menjadi kurang terperhatikan.

Bisa dikatakan, manusia hanya dapat mengamati secara teliti separuh dari kenyataan keadaan fisik suatu sistem (Nikmatul Masfuah, 2012: 64). Artinya kalau kita dapat ‘mengukur’ dengan seksama kinerja guru dalam membuat RPP dengan waktu bersamaan dengan proses pembelajaran, maka pengukuran kinerja pelaksanaan RPP itu dalam pembelajaran menjadi tidak teliti.

Ketidakpastian ini menurut Heisenberg, bukan disebabkan ketidakmampuan manusia atau keterbatasan alat, tetapi merupakan sifat yang melekat pada alam semesta (satupena.id).

Diharap penilaian kinerja guru dalam konteks ‘pembayaran’ Tukin’ mengedepan rasa keadilan demi masa depan anak bangsa. Wallahu a'lam bish-shawab!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah.

Editor: Administrator

Terkini

Devil’s Advocate di Satuan Pendidikan

Senin, 25 September 2023 | 09:56 WIB

Hak Milik dan Izin

Selasa, 19 September 2023 | 14:48 WIB

Hukum Alam Dalam Pembelajaran

Selasa, 29 Agustus 2023 | 09:58 WIB

Kemerdekaan dan Sabotase Diri

Kamis, 17 Agustus 2023 | 08:14 WIB

Tafsir 'Bajingan dan Tolol'

Rabu, 16 Agustus 2023 | 09:14 WIB

Lengser Keprabon, Mandig Pandito

Jumat, 11 Agustus 2023 | 10:14 WIB

Black Box Pembelajaran

Senin, 24 Juli 2023 | 08:51 WIB

Perkawinan dan Perbuatan Pidana

Sabtu, 22 Juli 2023 | 17:49 WIB

Izin dan Sertifikasi

Jumat, 7 Juli 2023 | 07:23 WIB

Libur dan Muhasabah Profesional

Senin, 26 Juni 2023 | 10:14 WIB

Guru ‘Bermuka Dua’

Senin, 5 Juni 2023 | 13:51 WIB

Tanggung Jawab Suami

Rabu, 24 Mei 2023 | 18:59 WIB

Resiko Bisnis atau Korupsi

Kamis, 11 Mei 2023 | 20:16 WIB

Media dan Marketing Politik

Minggu, 7 Mei 2023 | 16:37 WIB

Percakapan “Akademik’ Guru

Jumat, 5 Mei 2023 | 16:26 WIB
X