Oleh: Musri Nauli*
BEBERAPA waktu yang lalu, suasana heboh di Jambi. Ditahannya salah satu direktur bank yang kemudian menggegerkan suasana sosial di Jambi.
Nilainya tidak tanggung-tanggung. Sekitar Rp 300 miliar.
Kisah bermula ketika direktur utama dituduh melakukan medium term note atau surat jangka menengah oleh PT. Sunpira Nusantara Pembiayaa (SNP) periode tahun 2017-2018.
Padahal perusahaan sebelum diturunkan “kredit” diperkirakan sudah mengalami “gagal bayar”. Atau dapat dikategorikan “gagal melaksanakan kewajiban”.
Pertanyaan yang paling umum adalah, “apakah karena gagal bayar” dapat dikategorikan sebagai “resiko bisnis” dan ditempatkan sebagai “urusan keperdataan”, atau karena “gagal bayar” dapat dikategorikan sebagai “korupsi”.
Apabila dilihat secara umum, “resiko bisnis” memang masuk kedalam ranah keperdataan. Mekanismenya kemudian ditempuh melalui gugatan perdata.
Namun apabila melihat rangkaian yang disampaikan oleh Kejati Jambi, adanya “pemberian kredit” di saat perusahaan “sedang proses” gagal bayar, maka dapat dikategorikan sebagai “korupsi”.
Pertanyaan ini sengaja dipaparkan sekaligus menjadi cara pandang untuk melihat proses persidangan yang nantinya dapat dilihat secara terbuka.
Apabila kemudian dapat dibuktikan “pemberian kredit” ternyata tetap diberikan “padahal” penerima kredit ternyata adanya “dugaan” gagal bayar, maka adanya “kehendak jahat” dari para pelaku dapat terpenuhi.
Hal esensial dari “kehendak jahat” bagian dari penetapan tersangka yang dapat disidangkan di muka pengadilan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah bank dapat ditempatkan sebagai Badan Usaha Milik Negara/Badan usaha Milik Daerah?
Berapa komposisi saham yang kemudian dapat dikategorikan sebagai Badan Usaha Milik Negara/Badan usaha Milik Daerah?