Politik Candu VOC Dalam Melemahkan Kesultanan Jambi (2)

- Sabtu, 21 Juli 2018 | 13:55 WIB

Oleh: M Ali Surakhman *)

Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi

PANEMBAHAN Kota Baru berkuasa sekitar tahun 1590, lalu digantikan oleh Pangeran Kedah yang memiliki gelar Abdul Kahar pada tahun 1615. Pada masa pemerintahan Abdul Kahar inilah, orang-orang VOC mulai menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Jambi. Mereka membeli hasil bumi Kerajaan Jambi terutama lada. Hubungan Kerajaan Jambi dan VOC mulai merenggang sekitar tahun 1642.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. Namun, bantuan itu ternyata tidak gratis.

Sebagai gantinya, VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi. Tujuan utama dari perjanjian-perjanjian ini adalah untuk menguatkan monopoli pembelian lada. VOC juga memaksa untuk untuk penjualan kain dan opium.
Dalam kontrak 6 Juli 1643 VOC dan Sultan Jambi, yaitu Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili oleh Pieter Soury mengenai lada menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdangang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia.

Kontrak 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland menyebutkan, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang.

Sebagai imbalannya, harga lada yang dijual kepada kompeni diturunkan sama dengan harga lada yang dibeli kompeni dari Palembang. Di samping itu, kompeni mendapatkan monopoli impor kain linen dan opium.

Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi.

Sultan Jambi dan para penggantinya, termasuk para pembesar kerajaan lainnya harus melarang orang asing lainnya membawa dan menjual kain di wilayah kerajaan Jambi, dan jika hal itu terjadi maka kapal dan barang bawaannya dirampas, sebahagian diserahkan kepada sultan dan sebahagian diserahkan kepada VOC.

Kontrak 21 Agustus 1681 antara Sultan Anom dengan VOC berisi keterangan tentang hak kompeni untuk memperoleh monopoli pembelian lada di Jambi. Setiap akhir tahun sultan Jambi diharuskan memasok 1000 pikul lada dengan harga setiap pikul 4-5 real.

Jika ada orang Jambi menjual lada kepada selain VOC, baik itu pejabat, pembesar kerajaan atau rakyat biasa, bila ketahuan ladanya dirampas, separuh diserahkan kepada sultan dan separuhnya lagi kepada kompeni.

Kontrak 20 Agustus 1683 antara sultan Jambi dengan VOC tentang pembaharuan kontrak 6 Juli 1643 antara Pangeran Dipati Anom dengan komisaris Pieter Soury mengenai perdagangan lada. Kontrak 21 Oktober 1721 antara Sultan Astra Ingalaga dengan VOC (isinya tidak dapat dibaca lagi karena arsipnya rusak).

Akte perjanjian 12 Juni 1756 antara Sultan Ingalaga dengan VOC berisi kebebasan kepada kompeni berdagang di Jambi.

Menurut pemerhati dan pakar sejarah Jambi Via Dicky, Sultan Astra Ingalanga kabarnya pecandu berat. Sehingga dapat julukan belum tengah hari belum  bangun. Sultan Astra Ingalaga alias Sultan Abdul Muhyi, bapak Kiai Gede dan Sri Maharaja Batu.

Kemudian menurut Via Dicky, Kiai Gede dianggap durhaka dengan bapaknya karena menyebabkan Abdul Muhyi ditangkap Belanda. Namun sebenarnya Kiai Gede menasihati dan melarang ayahnya memakai candu. Bukankah Kiai Gede adalah raja jambi yang keislaman nya lebih baik dari yang dahulunya dan yang setelahnya.

Pada tahun 1760 terjadi pertikaian kekerasan antara VOC dan Sultan Jambi dan Belanda memblokade  pantai timur Sumatra atas semua pelabuhan. Dan terjadilah puncak perlawanan masyarakat Jambi terhadap penjajah Belanda.

Dari fakta sejarah di atas mengingatkan kita pada generasi sekarang bahwa hancurnya suatu bangsa bukan hanya oleh peperangan besar dan kekuatan senjata, namun lebih sangat berbahaya adalah hancurnya moral dengan pelemahan karakter generasinya.

Salah satunya adalah candu. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang punya generasi muda yang tangguh akan karakternya, dan kuat akan keyakinannya terhadap Sang Pencipta, dan sadar akan sejarah bangsanya, serta tidak mengulangi kesalahan sejarah masa lalu. (***/Selesai)


*) Penulis pernah sebagai Asisstant Research Dept. Antropology Yale University dan kerjasama research dengan Faculty Sciences and Arts Rijk Universiteit Leiden.

Editor: Administrator

Terkini