Oleh M. Ali Surakhman
KATA Zabag memang banyak bermunculan dalam berita Arab abad 9. Ditengarai pelabuhan ramai yang mengangkut rempah yang hari ini bernama Muara Sabak di kawasan Pantai Timur Sumatera. Persisnya di Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Berita Cina lama selanjutnya menyebut "San-fo-tsi" sebagai bandar yang sering dikunjungi oleh saudagar-saudagarnya untuk membeli lada. Phonetis kada "san-fo-tsi" dekat sekali dengan bunyi "tembesi". Tua (Jambi) yang utama ialah Muara Sabak, yang dalam pemberitaan Arab disebut "Zabaq". Orang Arab mentranskribir sebagai "Sribuzza", dan berita Cina menuliskan "Che-li-fo-che". Dari berita-berita ini menyebutkan bahwa kerajaan tua yang berada di bandar-bandar penting Sumatera adalah kerajaan Melayu Tua yang berpusat di Muara Tembesi.
Daerah sebelah selatan Jambi mulai penting sebagai produsen lada dan dengan bantuan armada Cina T"ang, San-fo-tsi mendrikan pangkalan disana (683 Masehi). Che-li-fo-che, Sriwijaya/Jambi, Muara Sabak, diapit oleh Melayu Tua/Muara Tembesi di Utara dan Palembang di sebelah selatan. Dalam hubungan ini penting berita I-tsing, bahwa ”Mo-lo-yoe” telah menjadi ”Sriwijaya” (685 Masehi).
Berita I"tsing itu mendapat ketegasan dalam batu bertulis Kedukan Bukit, yang tertanggal 605 Syaka atau 683 Masehi. Antara lain diberitahukan, bahwa "dapunta hyang" telah"nayik disana" dengan "koci", yang mebanwa "bala dua laksya banyaknya" guna "menyalap siddhyatra" dan "marbuwat banua syrivijaya jaya". Sebagai tempat bertolah disebut ”minanga Tamwan”, yang berdasarkan penyelidikan bahasa oleh Purbotjaroko disimpulkan sebagai ”minangkabwa”, asal kata ”minangkabau".
Dalam prasasti Talang Tuwo berasal dari tahun yang sama (683 Masehi), memberitakan tentang didirikan ”ksetra” guna kesejahteraan segala makluk. Upacara pendirian taman itu sesuai dengan upacara agama Budha Mahayana. ”Revolusi istana” yang didalangi oleh angkatan laut Cina mengakibatkan mati terbunuhnya Sri Maharaja Indra-warman, Muara Sabak (730 Masehi).
Suasana politik yang membara dan gawa di Syria pada tahun 750 masehi berhasil menumpas kekuasaan Chalifah Ummayyah di Damsyik, menghalang-halangi Chalifah Ummayyah untuk memberikan bantuan militer seperlunya kepada ”Zabaq”. Dengan demikian terhentilah dakwah Islam di wilayah ini, sekelumit sejarah tentang negeri Zabag.
Selasa, 20 Agustus 2019, kita dan bergerak menuju Sabak, melihat eksavasi yang dilakukan oleh tim arkeologi UI yang bekerjasama dengan pemda Kabubaten Tanjung Jabung Timur, kita disambut dengan kopi laberica yang lansung dibuat oleh Bupati Tanjung Jabung Timur Romi Haryanto, kopi liberica yang ditanam di lahan gambut, mempunyai cita rasa yang khas dan kelat eksotis dengan aroma berbeda, ibarat kata tambo tua “ melangkah masuk gelanggang, kita hatur jari nan sepuluh, carano di hujur, sirih pinang nan sabungkah rokok nan sabatang, izin pada yang punya negeri, tegur sapa pada leluhur penunggu batas, jangan di dago, jangan di dagi kami yang hendak berjalan, menapak jalan para pendahulu pendahulu yang menegakkan tiang negeri”.
Tak berpanjang pantun dan basa basi, kita langsung menuju lokasi Desa Lambur, menuju kesana kita ada tiga kendaraan satu diisi oleh Kabid di Balitbangda, Arga dengan semangat dan kerendahan hadi sudi menemani kita, satu kendaraan kawan kawan AJI Jambi, dan kendaraan kita diisi dua petualang Saiful Mursal dan Yoga, menempuh jalan yang berdebu dan berlubang, membuat pinggang tua ini sedikit sakit, namun aura leluhur pengarung samudera membuat rasa sakit tak terasa, sesampai di lokasi, tim arkeologi UI sedang bekerja bermandi lumpur, kita disambut dengan senyum ramah sosok sederhana, ketua tim eksavasi Dr. Ali Akbar SS. M. Hum, sosok bebrbeda untuk seorang arkeolog, dia lansung menunjukan temuan temuan keramik dari situs Siti Hawa dan beberapa kayu rangka kapal yang sedang di eksavasi.
Menurut pak Abe, panggilan Dr. Ali Akbar SS. M.Hum, tak hanya satu kapal saja, namun ada banyak rangka kapal yang di temukan di kawasan tersebut, dan yang sedang dieksavasi sekarang sangat unik, dan tekhnologinya sangat tua, tak hanya di satukan dengan pasak kayu, namun juga diikat dengan tali ijuk, dan ukurannya besar, dan ia menyakini kapal ini, kapal yang bisa mengarungi samudera, bukan hanya untuk transportasi sungai.
Dari hasil pengamatan dan survei yang juga dilakukan dari udara, di kawasan ini banyak di temukan jalur jalur kanal kuno, dari sungai Batang Hari hingga kelaut lepas, dari hasil sementara eksavasi ini, kawasan lambur, Muara Sabak merupakan pabrik kapal kuno atau galangan untuk membuat kapal pada abad 7 dan 6 masehi, namun untuk memastikannya kita masih menunggu penanggalan atau uji karbon, bisa saja lebih tua, ujanrnya.
Dari temuan keramik yang banyak ditemukan di kawasan situs Siti Hawa, yaitu keramik cina, dari periode Sung, Tang dan Ming, sedikit gerabah dari pengalian kapal di Desa lambur, yang diduga gerabah lokal yang sangat tua. Juga ditemukan batu bata, bisa jadi ini kawasan percandian di masa itu.
Saat melihat lokasi penggalian, tampak rangka kapal, dengan ikatan tali ijuk, disini saya terbayang teknologi rumah kuno di dataran tinggi Kerinci, yang mana sistim pengikat rangkanya, pasak kayu dan tali ijuk, pada tahun 1994-1996, kita meneliti Architecture Traditional Kerinci yang disponsori Academy Science and Art The Royal Netherlands Institute, Leiden, simpul ikatnya di sebut “silampit Simpe”, simpul ikat yang sangat kuat, hasil studi saat itu simpul ini, merupakan warisan tradisi neolitichum, proto melayu dataran tinggi Sumatera, simpul ini dipakai juga untuk mengikat beliung, kapak batu, dan ulu parang, dan alat angkut seperti Jangki dan Ambung, sejenis ransel, yang di gunakan penduduk dataran tinggi Kerinci.
Simpul ikat Silampit Simpe, ini juga tertuang dalam ragam hias rumah larik atau rumah tradisional Kerinci.
Timbul pertanyaan apa hubungannya dengan temuan kapal kuno Sabak, mobilitas manusia zaman dulu tak lepas dari hulu dan hilir, dan sungai merupakan transportasi penting saat ini dalam perdagangan maupun sosial, disini terjadi pertukaran informasi dan pengetauhan, dalam catatan catatan kuno, hulu membawa hasil bumi, hasil buruan, gading, kulit harimau, cula badak dan yang utama rempah, untuk dibarter, hilir merupakan pintu pertemuan dengan para pedagang luar, ini dibuktikan, temuan temuan keramik kuno Sung, di dataran Tinggi Kerinci.
Mari sedikit kita bicara tentang teknologi perahu dan kapal kuno, Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa prasejarah telah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara. Perahu selain memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat transportasi air, untuk berkomunikasi antar masyarakat, perdagangan, dan sarana mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi masyarakat pendukungnya yang mendiami pulau-pulau di Nusantara.
Penelitian F.L. Dunn dan D.F. Dunn (1977: 22) mengemukakan bahwa antara 20.000 sampai 18.000 tahun lalu teknologi pelayaran di wilayah Asia Tenggara masih sangat terbatas. Aktivitas pelayaran di laut terbuka belum berjalan, kemungkinan baru tahap penggunaan rakit dengan eksploitasi jenis kerang-kerangan di wilayah perairan dangkal seperti rawa-rawa dan hutan bakau yang dipengaruhi pasang surut air laut. Kemudian sekitar 9000 tahun lalu mulai dikenal adanya perahu yang penggunaannya bersama rakit dengan wilayah eksploitasinya berupa rawa-rawa dan pelayaran terbatas di perairan terbuka.
Eksploitasi wilayah baru dilakukan dengan bertambahnya pengetahuan keahlian berperahu. Selanjutnya sekitar 5000 tahun yang lalu diperkirakan telah ada eksploitasi wilayah Laut Tiongkok Selatan dengan penguasaan navigasi laut danteknologi perahu yang semakin berkembang.
Penggunaan cadik maupun layar sederhana berupa anyaman dari dedaunan meningkatkan luas wilayah eksploitasi dengan daya jelajah yang cukup jauh dari pantai (Dunn dan Dunn, 1977: 22-24) Selain itu diperkirakan pelayaran dianggap lebih berkembang sejak awal Holosen, penggunaan kayu gelondongan, ikatan kulit kayu atau buluh, kayu yang dilubangi berupa kano dan jenis rakit dari bakau atau bambu merupakan alat-alat pelayaran pada kala itu. Perkembangan teknologi pelayaran disebabkan karena faktor kondisi permukaan air laut yang meninggi mencapai 130 meter pada kurun 15.000 hingga 8.000 tahun yang lalu.
Terbentuknya pulau-pulau di Nusantara yang menciptakan garis pantai yang lebih panjang dan sumber daya alam yang melimpah serta iklim yang lebih stabil meningkatkan pertambahan populasi yang berdampak pada kemajuan budaya termasuk eksploitasi sumber daya laut. Isolasi geografi pulau-pulau di Nusantara oleh alam ditanggapi oleh manusia dengan mengembangkan teknologi pelayaran untuk melakukan kontak atau migrasi antar pulau-pulau. Horridge (2006: 143) menduga penggunaan rakit dari bambu telah ada sejak 50.000 tahun lalu yang digunakan oleh manusia untuk bermigrasi ketika muka laut lebih rendah daripada sekarang dan jarak antar daratan lebih pendek pada masa glasial. Selain itu rakit bambu mudah dibuat dan dapat dikerjakan dengan alat batu yang sederhana. Sebaran rakit bambu sampai sekarang masih terdapat di Indonesia, Melanesia, hingga ke Fiji.
Kemungkinan manusia pertama kali menggunakan rakit bambu menuju Australia dan selanjutnya menggunakan perahu lesung. Penggunaan kayu dan bambu sebagai rakit telah digunakan sebelum datangnya teknologi perahu petutur Austronesia. Terdapat hubungan antara perahu Austronesia dan perahu yang berkembang di Lautan Hindia sekitar 5000 tahun lalu yang bercirikan teknologi berbentuk perahu lesung dengan penambahan komponen berupa papan di atas dinding lambung perahu lesung dan perahu papan yang digabungkan menggunakan tali (sewn-plank) yang tersebar di Sumatera. Ciri ini juga terlihat pada perahu-perahu di Mesir, Lembah Sungai Indus dan Mesopotamia.
Selain itu bentuk tiang, teknik pasak, bentuk ujung kemudi pipih segiempat, dan bentuk layar trapesium berkembang sekitar 2000 tahun lalu pada jaringan perdagangan di selat Malaka. Namun pengaruh dari teknologi yang berkembang di lautan Hindia pada teknologi perahu Austronesia ini oleh Horridge (2006:145-147) dianggap kurang tepat karena kelompok-kelompok petutur Austronesia meninggalkan wilayah Asia Daratan jauh sebelum mendapat pengaruh dari teknologi perahu yang berkembang di Lautan Hindia atau bahkan dari Mesir.
Ia menunjukkan bahwa perahu-perahu Ausronesia telah berkembang dengan menggunakan bentuk layar segitiga sejak sekitar 200 tahun sebelum Masehi, teknologi layar segitiga ini baru berkembang di Lautan Hindia pada sekitar 200 tahun Setelah Masehi hingga seribu tahun kemudian diadopsi oleh para pelaut Portugis. Rute perdagangan dari Vietnam. menuju kawasan timur Nusantara sekitar 200 SM yang ditunjukkan oleh persebaran nekara perunggu yang merupakan salah satu artefak dari budaya Dongson yang mengikuti pergerakan musim angin monsoons di laut Cina Selatan dan laut Jawa. Diperkirakan cengkih dan kayu manis merupakan komoditas perdagangan yang dibawa oleh para pelaut petutur Austronesia menuju India dan Srilangka, dan mungkin menuju pantai timur Afrika dengan menggunakan perahu bercadik.
Mereka meninggalkan jejak dengan pengaruh berupa desain perahu, teknik pembuatan perahu, cadik, teknik menangkap ikan, dan sebagainya pada bukti literatur di Yunani (Christie, 1957 dalam Horridge 2006: 146). Hal ini didukung oleh Hornel (1928: 1-4) bahwa bentuk perahu di Victoria Nyanza, Uganda pada Suku Bantu di Afrika Timur mirip dengan bentuk perahu yang berada di Indonesia.
Mahdi (1999) mengemukakan bahwa hubungan pelayaran jarak jauh perahu-perahu Austronesia dengan perahu dari bangsa Semit di lautan Hindia diperkirakan telah terjadi antara 1000 dan 600 SM. Hal ini berdasarkan data tertulis Kitab Suci mengenai perjalanan pelaut dari bangsa Phoenic untuk membantu ekspedisi pelayaran Raja Sulaiman ke tanah Ophir (Kings 9: 26-28; Chron 8: 17-18 dalam Mahdi 1999: 153) dan terekam juga dalam Ioudaikes Archaiologias yang merupakan tulisan orang Yahudi yaitu Flavius Joshephus tahun 93 Masehi yang menyebutkan tujuan perjalanan ekspedisi tersebut ke tanah Sopheir (Thackeray dan Marcus 1966: 658-660 dalam Mahdi 1999: 153).
Terdapat asumsi dari literatur yang lebih kemudian bahwa tujuan ekspedisi ke arah timur itu adalah wilayah daratan Sumatera yang dianggap sebagai Suvarnabhumi (tanah emas). Sedangkan pada literatur yang lebih tua bahwa pelayaran hanya sampai pada daerah Sopara tidak jauh dari Baroch (Baygaza) (Mahdi 1999: 153-155).
Dalam Tambo Tua Pulau Perca atau Sumatera, dikatakan “ Saat air basintak naik, basintak turun, laut samato mato, berlayar nenek kami di kulit air memakai upih, membawa emas pado rajo nan tigo selo, yang duduk diatas mustika yang menembus batas langit”. Bahasa tambo tak bisa di baca tersurat saja, namun diartikan secara tersirat, apakah ini yang di beritakan dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan dia. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur"an, Surat Al-Anbiya" 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).
Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatra. Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatra dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s. Dengan eksavasi Kapal Sabak, diharapkan membuka misteri negeri Zabag, dan para leluhur yang gagah berani mengarungi samudera yang di tulis dan di catat dalam tambo tambo tua, dan kitab kitab suci, atau yang terlukis di dinding gua gua batu, maupun di relief relief menhir batu, namun yang terpenting, “Peradaban yang telah di buat para leluhur dengan semangat, keringat, bahkan darah, harus kita warisi, jangan menjadi bangsa penonton, namun jadilah bangsa pencipta peradaban, biar hidup jauh di tengah rimba, namun pikir mesti menembus semesta”.
* Sejarahwan, tinggal di Jambi