Oleh: M. Ali Surakhman
SEMINAR Publik Pelestarian Naskah Kuno di Jambi menjadi Memori Dunia, di Jambi, Senin (26/8/21019). Kegiatan ini diadakan di aula Kantor Bahasa Jambi, bekerjasama dengan Universitas Jambi, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, Kantor Bahasa Jambi, Seloko Institute, Dinas Kebuhadayaan dan Pariwisata Jambi, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Jambi, dan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, serta Harian Kompas.
Seminar dan FGD di hari kedua di Gedung FIB Universitas Jambi, menghadirkan Uli Kozok serta Dr Wahyu Andhifani, peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan. Seminar dilanjutkan dengan diskusi terbatas pada hari berikutnya. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan kebijakan dan gerakan pelestarian manuskrip kuno yang masih tersisa di Jambi. Salah satu naskah kuno berisikan Aksara Incung di Desa Tanjung Tanah di Kabupaten Kerinci merupakan naskah Melayu tertua.
Kegiatan ini dihadiri mahasiswa, akademisi, pegiat budaya dan aktivis literasi serta media yang ada di Jambi. Ada beberapa poin penting di acara ini di luar narasi yang telah dibuat panitia. Kegiatan ini pertama kalinya diadakan secara kolaborasi institusi di bawah kemendikbud, yang wilayah kerjanya sama, BPCB Jambi, Kantor Bahasa dan Balar Palembang, di tambah Pemda, Universitas Jambi, Kompas, dan Seluko Institute. Namun disayangkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjung Pinang, Kepri, yang wilayah kerjanya juga meliputi Provinsi Jambi tidak ada dalam kegiatan ini.
Apakah ada koordinasi atau tidak, kita tidak tahu. Sepatutnya institusi satu atap membuat sinergi kegiatan dan program bersama dan melibatkan berbagai pihak terkait, selama ini terkesan berjalan sendiri sendiri, apapun program kebudayaan yang di buat mesti bersama untuk mencapai tujuan yang maksimal, mestinya kata “Kebudayaan” dipahami lagi, kebudayaan terbentuk dan ada karena adanya kebersamaan ini tidak bisa tidak, dan tak dapat ditolak, mesti ada tangung jawab moral disini, walaupun tupoksi dan bidang kerjanya masing masing, namun tujuan akhirnya sama, pelestarian dan perlindungan.
Kemudian, menurut Nukman salah seorang pengiat Tradisi Lisan Jambi, “Negara harus hadir, karena salah satu poin dan tujuan dari pokok pokok pikiran pemajuan kebudayaan adalah perlindungan dan pelestarian naskah kuno, ini sudah disepakati antara daerah dan pusat, setelah ditetapkan mesti ada aksi, kalau tidak mau dikemanakan pokok pokok pikiran pemajuan kebudayaan tersebut.
Naskah kuno adalah bukti penting untuk menguak perjalanan sejarah masa silam, Jambi mempunyai banyak naskah kuno, namun dari waktu
ke waktu, semakin berkurang, karena belum adanya perlindungan dan pelestarian yang serius, naskah yang berada di masyarakat kebanyakan rusak, hilang, diperjualbelikan. Kemudian sulitnya untuk mengakses naskah ini, karena ada tradisi dan kepercayaan tertentu yang mengeramatkan naskah kuno tersebut, ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dan kegiatan transfer ilmu pengetauhan tentang perlindungan naskah kuno kepada mereka.
Salah satu naskah kuno berisikan Aksara Sumatera di Desa Tanjung Tanah di Kabupaten Kerinci merupakan naskah Melayu tertua. Penanggalannya menggusur dua naskah dari Ternate bertarikh 1521 dan 1522. Naskah akhirnya disebut sebagai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, setelah isinya terungkap lewat uji karbon oleh Profesor Uli Kozok dari Universitas Hawaii.
“Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa, ini merupakan aksara Sumatera, dalam seminar naskah kuno ini, Kozok mengatakan ada pengaruh Jawi, pada aksara ini, namun hal ini dikritisi penulis dan dipertegas salah satu ahli epigraf muda dari Balar Palembang, Dr.Wahyu Andhifani. Dia menyebutkan aksara yang ada di Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, adalah aksara asli Sumatera, karena banyak perbedaan dengan aksara yang ada di Jawa, salah satunya ciri khas pada lekukannya, yang sama dijumpai di prasasti prasati tinggalan era Adityawarman.
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah tidak semuanya tertulis dengan aksara Sumatera, namun pada 2 lembar terakhir KUUTT, ditulis dengan aksara Incoung, aksara Kerinci kuno, walaupun isi naskah ini tidak ada bersentuhan dengan Islam, namun penulis naskah ini, adalah Kuja Ali Depati, Siapa wujud Kuja Ali Depati? Ada berbagai tafsiran, bahwa bahwa dia dari Persia, namun dengan Depati di belakangnya, bisa jadi orang lokal, atau gelar yang diberikan untuk menghormati peranannya, Kuja dalam Bahasa Melayu kuno, orang yang sangat penting, Kuja, Kuju, Koja, yang juga dijumpai dalam kata kata Persia, namun hal yang terpenting Ali tidak mungkin beragama Hindu Budhha.
Bisa kita perdebatkan ia pasti Islam, dan ini bisa membantahkan cerita tambo tentang perang Padang Cirocok, di mana dikatakan perang agama yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Dhamasraya, tak ada satu buktipun yang menyebut ini, baik naskah, prasasti, kecuali cerita lisan, dari sini bisa kita tarik garis merah bahwa kehidupan toleransi beragama sangatlah tinggi saat itu, dan masyarakat Kerinci menerima kedatangan Islam dengan baik dan terbuka, tanpa meninggalkan tradisi leluhurnya, demikian pula para ulama tidak memaksakan tradisi tradisi baru yang di bawanya, ini terbukti sampai saat ini, dalam tradisi ritual, hukum adat, kesenian, maupun pegetauhan.
Karakteristik masyarakat Kerinci yang keras, tidak mau tunduk pada raja raja, yang tergambar dalam pola adat yang berlaku sampai saat ini, tidak menjadikan mereka kaku, ego centris, namun mungkin suku tua dataran tinggi Sumatera ini sudah lama mengenal aksara dan budaya tulis baca, membuat mereka bijaksan dan cerdas menyikapi situasi dan kondisi zaman.
Point penting lainnya saat Kozok menyatakan aksara Incung periodenya Antara 14-18, penulis kritisi, bahwa belum ada penanggalan karbonnya, dan harus ada data pembanding bahwa aksara incung ini di gunakan kisaran periode tersebut, namun Prof. Uli Kozok, membenarkannya, dan meralat, bisa saja aksara ini sudah digunakan abad ke 7, ataupun 1 M, namun dari aksara Phonecian, yang dikatakan sebagai aksara induk dunia, dan aksara paku Mesir kuno, bisa saja aksara Incung satu periode dengan aksara ini, karena banyak kesamaannya, namun kita tidak bisa pakai ilmu cocokologi, biar nati para ahli yang mengkajinya, namun yang tidak bisa di pungkiri naskah Incung menyimpan banyak bukti sejarah, bukan hanya Kerinci, tapi Jambi, Minaagkabau, Indrapura, bahkan naskah Arab Melayu, menceritakan silsilah raja raja Melayu.
Point penting lainnya, dari seminar ini para peneliti, akademisi yang sudah mendata, memetakan naskah naskah kuno, tak seharusnya merahasiakan, dan menjadikannya prasasti di hardisk laptopnya, demi kepentingan pengetauhan, ini harus dibuka, untuk di kaji, dan diketauhi oleh generasi muda, dengan tetap mengindahkan norma, kode etik, dan hak hak intelektual. Karena generasi penerus punya hak untuk tahu, dan hukum ilmuwan mesti disampaikan apa yang mereka tahu, karena saat diangkat dibidangnya mereka disumpah, sumpah profesi. Dan tidak ada dewa dalam ilmu pengetauhan, “bungkah tahan asah, besi tahan tahan sepuh, kayu tahan takik, ilmu tahan uji”.
Point penting lainnya, dalam pelestarian naskah kuno mesti bisa mengakomodir, para pengkaji lepas, yang pengetauhannya bisa di pakai, dalam seminar ini juga di hadiri salah seorang pewaris Incung Bopi Casia Putera, dan pengkaji Iwan Setio, yang sekian tahun mengkaji Incung, bahwa sudah membuat perbandingan aksara ini secara mendalam, dengan dana sendiri, orang orang seperti ini mesti dilibatkan, walaupun tidak punya background filolog atau epigraf, namun pengetauhan mereka diperlukan, kapan perlu kita uji. Dalam tradisi Kerinci, “ ada Kato Waris Yang Bejawab”, artinya generasi wajib mewarisi tradisi dan pengetauhan tua, para leluhur, walaupun dengan tekanan zaman dan modernisasi, ini mulai terkikis. Disini peran pemerintah yang mesti hadir, mengakomodir masyarakatnya, untuk menguatkan simpul kebangsaan. Dan salah satu solusi membentuk karakter anak bangsa, adalah melibatkan mereka, jangan mereka jadi tamu di rumah sendiri, kalau ini terjadi sama saja kita menanamkan bom bom waktu, yang suatu saat akan meledak.
*Sejarahwan. Tinggal di Jambi