Oleh M. Ali Surakhman *)
Tak dapat disangkal detik ini peta demografi semakin diwarnai oleh generasi milenial, atau generasi digital, dengan segala ciri dan karakternya. Generasi yang di tangannya tak lepas pada gadget dan teknologi ICT (Information Communication Technology). Salah satu cirinya adalah umumnya mereka tidak membutuhkan buku panduan saat mendapat gawai baru, namun bisa langsung lancar mengoperasikannya.
Jika zaman berkembang linier tanpa guncangan, boleh jadi kepiawaian generasi yang juga sering disebut generai X, ini akan punya kesempatan emas untuk berkarir dalam zaman yang juga berciri digital. Mereka akan memiliki lingkungan alamiah yang pas untuk passion dan kompetensinya. Di lain sisi dengan kemajuan teknologi yang mereka sukai juga telah menimbulkan apa yang hari-hari ini dinarasikan sebagai disrupsi. Disrupsi telah mengguncang bak gempa dan tsunami di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, industri, media, dan juga pendidikan.
Banjirnya informasi bak air bah, perubahan yang cepat dan mengakar, serta penggunaan teknologi berbasis internet yang sangat tinggi, satu sisi mempercepat informasi dan kinerja dan sisi yang lain telah menimbulkan satu persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, yaitu merebaknya hoaks atau berita palsu. Salah satu dipicu menguatnya fenomena post truth dan kemudahan menyebarkan informasi melalui media sosial dan aplikasi percakapan seperti WhatsApp, Twitter, Facebook, dan aplikasi jejaring sosial lainnya.
Semakin maraknya hoax (informasi bohong) dan hate-speech (ujaran kebencian), menciptakan keterbelahan di masyarakat berkelanjutan hingga sekarang ini, dengan merebaknya fenomena hoax, suka tak suka, mau tak mau, kita mesti menggerakkan perlawanan terhadap hoax dan disrupsi informasi, namun masalah tidak berhenti di situ, karena pada era sekarang juga sedang berkembang faham yang dikenal sebagai “post truth” (pasca kebenaran/kesunyatan). Di sini kebenaran bukan lagi fakta, tetapi persepsi. “Kebenaran adalah mauku”.
Dipadu dengan fenomena lain seperti radikalisme dan intoleransi, sesungguhnya masyarakat Indonesia sedang berada dalam kesukaran. Tentu ada banyak solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini. Di antaranya, salah satunya adalah membanggun nilai nilai luhur yang hampir punah di dalam masyarakat, seperti membangkitkan kearifan lokal, yang terkandung dalam tradisi, budaya, adat istiadat, ritus, ini bisa menjadi benteng terakhir dalam memperkuat karakter generasi millinial untuk mampu terus menerus belajar merespon pengetahuan yang terus berkembang.
Salah satu kearifan dalam menangkal hoaks dan disrupsi informasi adalah parnoa, yang merupakan tradisi lisan pada masyarakat Kerinci, Provinsi Jambi. Dalam tubuh masyarakat Kerinci tak bisa lepas dari parnoa, yang digunakan dalam semua kegiatan prosesi adat istiadat, budaya, ritus, kesenian, maupun keagamaan, Parnoamempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting pada masyarakat Kerinci dalam pewarisan nilai-nilai adat dan budaya kepada generasi selanjutnya.
Namun sebagian generasi milenial Kerinci sebagai pewaris sastra lisan ber-parnoa telah mengabaikan sastra lisan ini. Padahal ber-parnoa banyak mengandung nasihat yang bernilai etik dan moral yang masih dibutuhkan pada masa sekarang dan yang akan datang, terutama norma-norma adat pada prilaku yang positif yang mengandung nilai-nilai moral dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Parnoa sebagai sastra lisan, merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilia-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungannya dengan membendung disrupsi informasi dan berperan sebagai wahana pemahaman gagasan pewarisan tata nilai yang tumbuh di masyarakat. Parnoa sebagai sastra lisan Kerinci didukung oleh suatu bahasa daerah, yaitu bahasa Kerinci.
Bahasa Kerinci dipakai di dalam wilayah Kabupaten Kerinci dan Provinsi Jambi. Bahasa Kerinci merupakan salah satu di antara keluarga bahasa austronesia, yang termasuk kelompok bahasa Sumatera. Bahasa Kerinci pernah mempunyai tulisan sendiri, yang berupa tulisan incoung. Tulisan ini ditemukan pada beberapa inskripsi yang ditulis di atas tanduk, bambu, dan daun lontar.
Parnoa dalam masyarakat Kerinci diungkapkan melalui bahasa lisan yang berupa bahasa kiasan dan perumpamaan di dalamnya. Parnoa Kerinci diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dari mulut ke mulut dalam budaya Kerinci. Artinya parnoa merupakan tradisi lisan Kerinci yang menjadi bagian dari budaya Kerinci.
Pada parnoa bentuk kalimat yang selain mengandung unsur adat juga mengandung seloka, seloko, papatah petitih, bahasa kias, petuah dan perumpamaan dalam kalimatnya. Hubungan parnoa dan seloko parnoa merupakan ungkapan adat yang berisi hajat seseorang. Sama halnya dengan seloka, masyarakat Jambi mengenalnya dengan seloko.
Seloko adat Jambi berupa ungkapan yang mengandung pesan, atau nasihat yang bernilai etik dan moral, serta sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi, ditaati dan dihormati oleh masyarakatnya karena mempunyai sanksi.
Kemudian dalam konteks ni dimana fungsi parnoa dalam membendung disrupsi informasi dan hoax?. Kita mulai dari sosial kultural dengan berbagai norma moral dalam masyarakat Kerinci, yang mana suku Kerinci sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kehidupan masyarakat Kerinci sehari-hari tercermin pada icopake (Kerinci: penerapan) adat–istiadatnya yang dikatakan tak lapuk di hujan tak lekang di panas. Bhinneka Tunggal Ika yang secara simultant tak dapat dipisahkan dari Pancasila, karena unsur–unsur Pancasila secara material terdapat dan ditemukan di dalam adat istiadat kebudayaan bangsa Indonesia asli. Maka nilai moral yang terkandung di dalam adat istiadat Kerinci juga tak dapat dipisahkan dengan Pancasila.
Definisi kata adat dapat dikatakan: Dasar pikiran tentang tata kebiasaan hidup yang berlandaskan kepada budi, moral, etika dan kemanusiaan. Pengetahuan mengenai adat sebenarnya adalah ajaran budi, menuntun kepada nilai luhur manusia sebagai subjek dan tingkah lakunya sebagai objek yang tercermin dari diri yang bersangkutan.
Ungkapan parnoa mengatakan “negeri berpagar adat – tepian berpagar basa”, ini berarti masyarakat dalam tindak–tanduk sehari-hari haruslah mentaati norma–norma adat dan tata krama kesusilaan yang disebut “basa”. Dengan adanya kebiasaan–kebiasaan adat yang normatif pada masyarakat Kerinci, maka masalah pemberlakuan ketentuan adat sudah mendarah daging.
Adat pada prinsipnya dekat sekali dengan agama, sejak dahulu adat sudah menjadi tata cara kebaktian orang kepada Tuhan. Dimana adat terdahulu diketahui oleh manusia dari pada agama. Dalam perjalanannya agama berfungsi sebagai pengawasan terhadap penerapan adat. Adat sering mengalami kepincangan dalam sejarah manusia, maka agamalah yang meluruskannya.
Sebagaimana kita ketahui adat asli bangsa kita telah bersentuhan dengan pengaruh–pengaruh luar seperti, Hindu, Buddha dan kemudian Islam. Dalam perkembangan dan kenyataannya, tetap saja adat erat kaitannya dengan agama. Itulah sebabnya adat Kerinci dikatakan: Adat bersendi syarak – syarak bersendi Kitabullah. Adat berbuwul sentak – syarak berbuwul mati. Maksudnya adat dapat saja berobah corak, tetapi syarak tidak boleh berobah.
Peranan adat istiadat dapat diarahkan untuk tujuan pembinaan persatuan dan kesatuan masyarakat, karena adat istiadat memiliki seperangkat norma, kaidah, dan keyakinan sosial yang masih dihayati dan dipelihara oleh masyarakat, khususnya masyarakat di desa-desa.
Pengenalan masyarakat Kerinci terhadap persatuan dan kesatuan telah ada dalam sistem kemasyarakatan, sama tuanya dengan suku bangsa ini telah menempati dataran tinggi Kerinci, ini tercermin pada ungkapan–ungkapan adat Kerinci yang normatif. Norma– norma adat di Kerinci jauh lebih tua umurnya dari norma–norma agama ataupun hukum, sebelum mereka menganut agama dan mengenal hukum positif, mereka telah memegang norma–norma adat sebagai alat tata gaul kemasyarakatan dan sistem pemukiman berwawasan lingkungan. Ungkapan–ungkapan adat Kerinci tersebut antara lain mengatakan :
- Ke atas sepucuk ke bawah seurat – Ke atas berpucuk bulat ke bawah berurat tunggal.
- Ke mudik serentak satan – Ke hilir serengkuh dayung.
- Bak tekuyung dengan batang – Bak batang dengan banir.
- Bulat karena pembuluh – Bulat kata karena sefakat.
- Sedentum bedil sealun sorak – Selepas seligi sebuah pekik.
Dalam parnoa di atas, adat jelas mengatakan Ke atas sepucuk ke bawah seurat – Ke atas berpucuk bulat ke bawah berurat tunggal. bahwa kebenaran jangan dibelokan, pesan jangan ditambah jangan dikurang, artinya segala informasi mesti disampaikan berdasarkan sumbernya. Ke mudik serentak satan – ke hilir serengkuh dayung. Ini berarti walau berbeda pendapat, berbeda pemikiran tetap mesti menjaga persatuan dan kesatuan, Bak tekuyung dengan batang – Bak batang dengan banir. Artinya masyarakat Kerinci tak bisa lepas dari hukum adat, dan yang datang atau pendatang mesti mentaati ini, apapun sukunya, agamanya, dan tetap satu dalam kesatuan walau berbeda.
Bulat karena pembuluh – Bulat kata karena sefakat. Di sini tercermin masyarakat Kerinci mesti menjunjung tinggi azas musyawarah dan mufakat, artinya semua masalah harus diselesaikan dengan mufakat dan musyawarah, Sedentum bedil sealun sorak – Selepas seligi sebuah pekik. Artinya segala tindakan, informasi, pesan mesti di cari kebenarannya, dan setelah dimusyawarahkan dan diteliti kebenarannya, baru disampaikan.
Dalam bertingkah laku, baik masyarakat awam maupun tokoh adat, agama, dan pemerintahan masyarakat Kerinci telah mengatur kriteria yang tak bisa diubah lagi yang dikenal dengan icopake. Dalam Adat Kerinci icopake erat sekali dengan, etika beradat yang ada dalam pandangan para Pemangku Adat Kerinci. Icopake menurut pengertian dalam bahasa Indonesia: Ico = pegang, olah, tingkah; Pake = pakai, pemakaian, penerapan. Definisi Icopake dapat dikatakan: Penerapan pola tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam suatu daerah, negeri, luhah, dan komunitas tertentu.
Pembagian Icopake adat dalam pranata sosial masyarakat Kerinci terdiri dari kelompok:
1. Rajo, seperti depati dan orang besar lainnya yang memiliki kekuasaan.
2. Manti, Ninik Mamak atau Penghulu/Kepala Suku (Kelebu).
3. Bilal Malin atau golongan Ulama.
4. Orang banyak atau masyarakat.
Ketentuannya: Pake pada Rajo dinamakan Undang. Pake pada Manti dinamakan Lambago. Pake pada Bilal Malin dinamakan Syarak. Pake pada Orang Banyak dinamakan Cupak Gantang.
Dalam pandangan masyarakat Kerinci, adat sebagai sumber norma moral dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu : Adat Yang Asli yaitu, sejak manusia sudah dapat bergerak, berkata dan sebagainya. Adat Yang Tidak Asli yaitu, sejak manusia telah berkebudayaan. Kemudian dalam adat ini ada adat yang kawi (berkekuatan), yang dituangkan dalam parnoa, dimana teliti titian bunyi, bunyi mengikuti kata, kata mengandung unsur 4 kali 4.
Kata yang 4 kali 4 tersebut adalah :
a) Yang mengandung unsur “pesan”, yaitu :
1. Kata pusaka: Kalam Allah, sabda Rasulullah, dan para Anbiya.
2. Kata terletak: Kata antara satu atau dua negeri ataupun kampung yang mirip–mirip, serupa iya segaya tidak.
3. Kata tersurat: Kata hitam di atas putih, runding sampai bicara sudah, seperti surat wasiat, transkripsi dan lain-lain.
4. Kata tersirat: Kata melihat kepada tanda–tanda alam, sekalipun tiada bukti dan keterangan.
b) Yang mengandung unsur “sifat”, yaitu:
1. Kata mufakat: Kata yang dibuat dengan musyawarah, bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat.
2. Kata sepakat: Kata yang terjadi karena terang kebenarannya.
3. Kata bergalau: Kata ditengah–tengah masyarakat yang tidak tentu ujung–pangkalnya, seperti isu.
4. Kata mengiba: Kata seseorang yang terkena hukuman, penyesalan dsb-nya. Kiasannya, menongkatkan paruh mengembangkan sayap, memohon akibat suatu objek.
c) Yang mengandung unsur “perintah”, yaitu :
1. Kata memutus : Kata raja seperti Depati, Ketua Sidang, Bupati dst-nya. Kiasannya, memakan habis memenggal putus membunuh mati.
2. Kata menyusun: Kata Penghulu atau Ninik Mamak kepada anak kemenakannya. Silang sengketa dipatut, kusut diselesai, keruh dijernih, renggang ditutup, dan sebagainya.
3. Kata nasehat: Kata Tengganai atau Anak Jantan kepada Anak Betino dan kepada kemenakannya. Kiasannya, keluk paku kacang belimbing, anak dipangku kemenakan dibimbing.
4. Kata menderas : Kata Hulubalang atau Prajurit. Kiasannya, terkilat pantang kelintasan.
d) Yang mengandung unsur “kerama”, yaitu :
1. Kata mendaki: Kata orang muda kepada orang tua. Yang tua dimuliakan yang muda dikasihi.
2. Kata menurun: Kata orang tua kepada yang muda. Kiasannya, tua menahan ragam muda menanggung rindu.
3. Kata Mendatar: Kata orang yang sebaya atau segenerasi. Kiasannya, mulut manis kecindam murah.
4. Kata membayang: Kata seseorang yang mengandung maksud tertentu, tetapi tak langsung ditujukan. Kiasannya, kilat cermin sudah ke muka kilat beliung sudah ke kaki, berbicara tujuannya makna.
Salah satu kalimat dalam parnoa: Beriak tanda tak dalam berguncang tanda tak penuh. Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah. Seberat berat badan tidak meninggalkan laba.
Konsep di atas dimaksudkan bahwa setiap individu haruslah menggunakan akal pikirannya dalam bertutur dan bertindak sebagai ujud dari sikap mengendalikan diri terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang, Apabila maka setiap individu selain dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan hukum adat, ia juga akan membayar segala bentuk kezaliman yang dilakukan dengan harta benda yang dimilikinya.
Membanggun dan menghidupkan warisan kearifan leluhur yang sering kali kita anggap sudah tak zamannya dan tak berguna, namun sangatlah penting dalam menata karakteristik anak bangsa, membendung hoaks dan disrubsi informasi yang akan memecah belah bangsa ini, Bureuk lae jalipung lae, Saburuk puan jalipung tumbuh, Patah tumbuh hilang bugantei Pegang adeak kuak-kauak: Buruk li Jalipung li, seburuk puan jalipung tumbuh, Patah tumbuh hilang berganti, Peganglah Adat kuat kuat.
*Penulis lepas, pemerhati sejarah dan budaya Jambi, tinggal di Jambi