Sastra Lisan: Ruh Karakteristik Masyarakat Kerinci yang Hilang

- Sabtu, 19 Oktober 2019 | 11:22 WIB
Babakan Naik Tangga
Babakan Naik Tangga

PADA awalnya, sastra tradisional atau sastra lisan Kerinci ialah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Istilah lainnya adalah cerita rakyat. Disebut cerita rakyat atau folklor karena cerita ini hidup di kalangan rakyat. 

Semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini. Cerita ini milik masyarakat bukan milik seseorang. Cerita rakyat itu biasanya disampaikan secara lisan oleh orang yang hafal ceritanya. Itulah sebabnya cerita rakyat disebut sastra lisan (oral literature). Cerita disampaikan oleh seorang tukang cerita sambil duduk-duduk di suatu tempat kepada siapa saja, anak anak dan orang dewasa. Ceritanya bersifat umum, mudah dicerna, dan tidak panjang. Pada zaman dahulu cerita belum dituliskan karena belum mengenal tulisan. 

Masyarakat Kerinci mengenal tulisan bersamaan dengan tulisan Rencong (Incung dalam bahasa Kerinci). Berdasarkan catatan yang terdapat di dalam Kerintji Documents diketahui bahwa aksara Incung telah digunakan oleh masyarakat Kerinci sebelum adanya prasasti Karang Birahi pada abad ke-7 di Karang Berahi yang ditulis dengan aksara Pallawa. 

Aksara Incung cara penulisannya sangat berbeda dengan huruf Pallawa dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Dengan aksara inilah seluruh naskah-naskah kuno Kerinci ditulis dan dikembangkan dengan media tanduk kambing, kerbau, bambu, dan lembar-lembaran daun lontar (Vorhoeve dalam Arfensa dkk., 2003:8). 

Adapun bentuk-bentuk sastra lisan Kerinci disampaikan dalam bentuk oral (oral literaty) atau secara lisan. Bentuk sastra lisan Kerinci, memiliki beberapa bentuk seperti prosa, puisi, dan prosa liris. Genre prosa Kerinci terdiri atas kunaung, dongeng (mitos, sage, legende, dan fable), cerita penggeli hati, cerita pelipur lara, cerita perumpamaan, cerita pelengah, dan kunun baru. Sastra Kerinci yang termasuk ke dalam puisi adalah pepatah, pantun rakyat, dan syair. Sastra Kerinci yang tergolong ke dalam prosa liris adalah mantra, sumpah serapah dan pujaan, parno atau pangku parbayo (pidato adat), dan karang mudeo. 

Nilai Budaya  

Bentuk kebudayaan itu bermacam-macam, antara lain karya sastra. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pencipta serta refleksi terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Hasil sebuah karya sastra seperti cerita rakyat, mengandung nilai-nilai budaya yang penting untuk diketahui dan berguna untuk memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat. 

Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup” (Koentjaraningrat, 1982: 18). 

Dalam kehidupan bermasyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap, di mana keduanya menentukan pola-pola tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika-moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam normanorma sosial, sistem hukum dan adat sopan-santun yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur tata-tertib kehidupan bermasyarakat. Adat-istiadat menetapkan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertindak secara tertib.  

 Nilai budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu. Sejak kecil “individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat” (Koentjaraningrat, 1982: 18).

Sehubungan dengan itu, di dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya itu mencerminkan stereotip tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lembah manah (low profile), halus tutur katanya dan sebagainya. Kekhasan nilai budaya daerah dan perilaku praktisnya itu tentu saja secara relatif berbeda dengan kekhasan nilai budaya suku bangsa lain, misalnya stereotip orang Jawa tadi tentu berbeda dengan stereotip orang Batak atau Bugis-Makasar. 

Permasalahan yang muncul adalah nilai budaya daerah yang bagaimana yang juga dapat berfungsi membentuk struktur nilai budaya umum yang dapat berlaku bagi masyarakat-masyarakat di Indonesia secara keseluruhan, sehingga dapat menjadi ciri identitas jatidiri Bangsa Indonesia. Pemecahan masalah ini tentu saja memerlukan telaah nilai budaya daerah yang memiliki potensi untuk itu.  

 Bangunan masyarakat Indonesia terbentuk dari hubungan-hubungan antarwarga masyarakat suku-suku bangsa yang berbeda-beda, di mana masingmasing suku-bangsa memiliki tata nilainya sendiri, yang tentu saja berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, keseluruhan masyarakat Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara, yang secara klasifikatoris dicirikan menganut filosofi Timur, yang mengutamakan kepaduan kolektif, dan jika meminjam terminologi Durkheim, ini dicirikan sebagai solidaritas mekanis Morris (1987: 107), sehingga, adanya aneka ragam yang berbeda-beda pada tingkat perilaku praktis di antara suku-suku bangsa itu, bukan berarti tiadanya kesamaan pada level yang lebih hakiki.  

 Nilai budaya juga merupakan bagian dari konsepsi-konsepsi di tingkat hakiki ini. Jika diamati secara cermat, akan dapat ditemukan sejumlah persamaan pola tata tingkah laku warga suku-suku bangsa di Indonesia, misalnya saja, masyarakat-masyarakat di Indonesia mengenal pola kerja bersama yang secara umum dikenal sebagai gotong-royong (Kartodirjo, 1978:65). Sekalipun ada perbedaan variasi sistem kerjanya, ternyata terdapat kesamaan keserasian pola tata kerja bersama mereka.  

Halaman:

Editor: Administrator

Terkini