Oleh: Irhas Fansuri Mursal S.Pd, M.Hum *)
SEJARAH maritim merupakan kajian yang menjadi populer pada dekade ini. Indonesia digadang-gadang akan menjadi poros maritim dunia dengan kesadaran akan potensi yang dimiliki yang mana dua pertiga wilayahnya adalah laut. Kajian ilmiah sejarah maritim mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, meliputi: penangkapan ikan, hukum laut internasional, sejarah kelautan, sejarah kapal, pembuatan kapal, sejarah ilmu pelayaran, sejarah berbagai ilmu pengetahuan terkait dengan bahari seperti; ilmu samudera, pembuatan peta, hidrografi, dan lainnya.
Kajian yang tidak kalah menarik dari sejarah maritim diantaranya: eksplorasi laut, ekonomi bahari dan perdagangan, pengiriman, berpesiar naik perahu, kebudayaan tepi laut, sejarah sosial pelaut dan masyarakat terkait dengan laut contohnya perampokan, orang-orang laut, dan lain sebagainya. Hal yang tidak kalah menarik dalam kajian sejarah maritim diman kita bisa menelusur jejak peradaban terdahulu di kawasan timur sumatera, termasuk Jambi.
Jambi dikenal bagian dari kebudayaan melayu sebagai identitas. Kajian kebudayaan melayu menurut Leonars Y. Andaya dalam karya “Leaves of the Same Tree” penggunaan istilah \"bangsa\" untuk merujuk kepada kelompok-kelompok yang berbeda di antara Orang Asli sangat penting. Suatu saat di masa lalu masing-masing kelompok dianggap sebagai entitas etnis yang unik. Sering diberi exonym terkait dengan daerah yang mereka eksploitasi dan tahap yang mereka capai dalam mencapai \"peradaban\" sebagaimana yang dipahami oleh kelompok dataran rendah atau pesisir seperti Melayu.
Dalam teks ini Andaya menjelaskan Semang berlokasi di hutan dan mempertahankan kontak yang terbatas dengan orang luar. Wila atau Semang Bila adalah dataran rendah Semang di sekitar Gunung Jerai (Kedah Puncak) dan di rawa Perai (Provinsi Wellesley), dengan asimilasi budaya lebih ke dataran rendah karena interaksi mereka yang lebih besar dengan Malayu. Rakyat bukit, atau orang-orang pegunungan, adalah Senoi, kemungkinan besar Temiar, dan Sakai adalah populasi orang laut dan sungai di utara.
Sebuah perbedaan penting dibuat dalam dongeng tentang peran yang dimainkan oleh penduduk asli di Kedah dan Malaka. Kedah populasi penduduk asli yang penting adalah Orang Asli Semang dan Senoi yang menjamin keberhasilan usaha kerajaan, sedangkan di Malaka penduduk asli yang penting adalah Orang Laut, dengan dukungan dari Orang Asli. Kontribusi yang lebih besar dari Orang Laut di Malaka mencerminkan fungsi penting mereka dalam membantu menciptakan dan mempertahankan posisi Malaka sebagai pelabuhan perdagangan terkemuka di kawasan ini. Dalam teks-teks ini, Orang Asli tidak pernah direndahkan tetapi secara terbuka mengakui pengorbanan mereka atas nama penguasa Melayu.
Untuk kerajaan Malayu di Sumatera, pentingnya kelompok hutan selalu diakui karena peran mereka dalam memasok produk hutan kepada kerajaan hilir. Hubungan itu lebih formal daripada di Semenanjung Melayu, dengan mengeluarkan prasasti pelat tembaga dan surat kepada kelompok Suku Terasing pedalaman untuk menjamin arus barang. Cerita pernikahan antara putri Suku Terasing dan pangeran Melayu hilir bukan sesuatu yang biasa, tetapi ukuran yang lebih menceritakan hubungan erat antara dua masyarakat adalah terjalinnya pahlawan-pahlawan budaya mereka.
Sedangkan Barbara Andaya menggambarkan sebuah dunia dimana tokoh-tokoh spiritual yang kuat bergerak dengan mudah masuk dan keluar dari komunitas yang berbeda, memberikan titik persimpangan yang bersama-sama membantu mengikat kelompok. Tokoh heroik dalam cerita rakyat Melayu, seperti Iskandar Zulkarnain (Alexander Dua Tanduk, yaitu Alexander Agung) dan Arya Damar, juga dimasukkan ke dalam kisah-kisah kelompok pedalaman. Hasil persilangan pahlawan budaya tidak hanya terjadi antara Malayu dan Suku Terasing, tetapi juga antara kelompok-kelompok yang berbeda dari Suku Terasing. Umumnya yang terkenal adalah Poyang, atau nenek moyang dari klan atau kelompok suku, sama-sama penting dalam legenda dan tradisi kelompok lain.
Salah satu contoh dari berbagi pahlawan budaya adalah bahwa Si pahit Lidah. Ada berbagai versi kisah dari Poyang orang Pasemah, tetapi benang merah semua versi adalah kelahiran kekuatan Si pahit Lidah dan kekuatan yang luar biasa. Petualangannya di seluruh tenggara Sumatera menimbulkan bahan untuk penafsiran lokal dan kesempatan untuk menciptakan hubungan dengan kelompok lain. Pahlawan budaya lain yang penting adalah Puteri Pinang Masak, seorang putri Minangkabau, yang didekati oleh Tun Telanai kerajaan hilir. Dalam kisah ini pelamar tidak berhasil, namun hubungan antara keduanya tetap ramah dan sang putri diterima sebagai anak dan saudara-saudaranya datang untuk menetap di sepanjang hulu anak sungai. Sang putri akhirnya menikah dengan orang Turki, dan dari hubungan mereka datang Orang Kaya Hitam, salah satu leluhur Jambi terbesar.
Kisah penolakan penguasa Majapahit, memperoleh benda-benda gaib untuk kerajaannya, dan membangun kerajaan Jambi. Dalam kisah ini ada suatu penerimaan tentang keterkaitan semua kelompok melalui nenek moyang yang sama. Dalam cerita rakyat dan literatur awal tentang Malayu di Sumatera dan Semenanjung Melayu, masyarakat Orang Asli / Suku Terasing dipandang dengan hormat dan bahkan dengan kekaguman. Hubungan mereka dengan hutan, yang melakukan teror untuk sebagian besar orang Malayu, memperkuat keyakinan dalam potensi rohani mereka dan kemampuan untuk menggunakan kekuatan supranatural melawan musuh-musuh mereka.
Hubungan ini juga ditandai dengan saling ketergantungan ekonomi. Kerajaan Malayu hilir memberikan besi yang penting, garam, dan kain untuk masyarakat pedalaman. Sebagai gantinya, Orang Asli / Suku Terasing memberikan damar hutan, kayu aromatik, dan rotan, yang bernilai tinggi dalam perdagangan internasional yang dilakukan di kota-kota pelabuhan Malayu. Selain mengumpulkan hasil hutan, Orang Asli / Suku Terasing memberikan fungsi yang berguna dalam menjaga rute perdagangan. Semua faktor ini berkontribusi pada penggambaran positif dari Orang Asli / Suku Terasing dalam dongeng Malayu awal dan legenda. Pengakuan dalam hubungan yang dibutuhkan antara kedua kelompok ini juga terlihat di awal Orang Asli / Suku Terasing yang mengembara dari Malayu.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Orang Laut memiliki variasi kepentingan politik dan ekonomi dan organisasi sosial. Semakin besar peran yang didapatkan oleh pemimpin Orang Laut, semakin besar gelar adat yang diberikan Kesultanan Melayu di darat. Sebelum abad ke 19, informasi tentang Laut Orang identik dengan peran mereka sebagai angkatan laut penguasa. Menjaga jalur laut atau berpartisipasi dalam serangan terhadap kapal-kapal menuju wilayahnya. Selain itu, mereka juga memiliki fungsi ekonomi yang beragam yang sangat berpengaruh terhadap status sosial yang diberikan oleh penguasa di darat terhadap mereka. Fungsi tersebut meliputi; penanaman sagu, lada, gambir, kayu eboni, kayu gaharu, rotan, emas, timah, pohon-pohon yang ditebang untuk kayu, teripang, agar-agar, kura-kura dan produk-produk laut lainnya.
Bagaimanapun, kemampuan dan kontribusi politik dan ekonomi Orang Laut terhadap Melayu sangat besar. Hal ini kemudian menjadi alasan utama bagi penguasa-penguasa Melayu di darat untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan dengan kelompok tersebut. Sementara, Orang Laut menganggap penting status sosial yang diberikan penguasa Melayu dan membayar dengan loyalitas yang tinggi terhadap hubungan tersebut. Dengan kata lain, keduanya terikat pada hubungan yang saling menguntungkan. Selain itu semua tidak lepas dari juga kearifan lokal yang ada dalam masyarakat yang menghasilkan tinggalan teknologi perkapalan yang berkembang pada masa itu.
Apabila dihubungkan dengan temuan penelitian situs perahu kuno lambur di Muaro Sabak Tanjung Jabung Timur baru baru ini. Penelitian tersebut melanjutkan dari temuan potongan kayu papan perahu kuno secara tidak sengaja seorang warga Desa Lamur I pada bulan Maret 1995. Pada awal Juli 1996 dilakukan penitinjauan oleh pegawai Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi (SPSP) Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Pada tanggal 18-22 November 1997 dilaksanakan ekskavasi penyelamatan oleh SPSP dipimpin Agus Widiatmoko. Pembukaaan 5 kotak galian memperoleh temuan papan-papan perahu kuno dan tali ijuk.Untuk sementara diketahui panjang perahu 16 meter dan lebar perahu belum diketahui.
Berdasarkan peta kuno Belanda Sungai Lambur masih sangat terlihat jelas mengalir diantara Sungai Sabak, Sungai Nioer dan Pamoesiran. Tidak dicatat adanya permukiman kuno di daerah Lambur, Menurut Tijeman fokus melaporkan tentang aliran sungai, termasuk muaranya. Salah satunya yakni sungai Sabak memiliki muara yang disebut Muara Sabak. Berdasarkan peta-peta kuno kolonial Belanda sungai Lambur masih dapat dilihat dari peta tahun 1878-1905. Namun, pada peta-peta tahun 1930-1944 Sungai Lambur tidak terlihat lagi.
Temuan terbaru dari penelitian yang dipimpin oleh Ali Akbar disampaikan dalam seminar 16 Desember 2019 diantaranya mengungkap badan kapal dari haluan sampai buritan. Namun, bagian lunas belum ditemukan. Usia kapal berdasarkan uji pertanggalan absolut hasil uji labor adalah pertengahan tahun 1500-an. Kapal ini disinyalir oleh peneliti sebagai kapal barang dengan ukuran kecil. Penanggalan usia kapal ini menjadi kontroversi karena berbeda dengan perkiraan peneliti sebelumnya. Terlepas dari dialektika penanggaan tersebut, kapal ini melengkapi rekonstruksi kebudayaan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada khususnya dan Jambi pada umumnya. Sejarah Jambi dari beberapa literatur dimulai pada periode ke 7 sampai 13 M. Penelitian perahu Lambur menjadi salah satu bukti akan kebudayaan maritim sebelum masuknya Bangsa Eropa di Nusantara.
Kebudayaan maritim di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dibuktikan dengan temuan peneliti arkeologi yang cukup lengkap. Bahkan, budaya maritim ini terus berlangsung, salah satunya dengan adanya tempat pembuatan kapal di Simbur Naik. Temuan arkeologi ini bisa menjadi data tambahan dan membantu sebagai alat bukti bagi sejarawan yang konsen pada kajian maritim. Mengungkap misteri Jejak peradaban maritim yang sampai sekarang belum banyak diteliti secara mendalam oleh akademisi dan sejarawan maritim. Apalagi Muara Sabak sudah begitu terkenal yang disebut-sebut oleh para pedagang Arab dan Persia dengan nama Zabaj. Misteri jika diungkap secara ilmiah bisa menjadi nilai tawar yang tinggi dalam kajian maritim di Nusantara. Bahkan akan menandingi sentral kajian sejarah maritim di Indonesia yang masih terpusat di kawasan Indonesia Timur, Jawa dan pantai barat Sumatera.
*) Dosen Ilmu Sejarah Universitas Jambi dan Pembina Komunitas “Lensa” (Lentera Sejarah)