KEMACETAN jalan yang makin parah dan harga rumah tapak yang melambung akibat minimnya suplai lahan, membuat hunian vertikal kian menjamur. Tak hanya di Ibukota Jakarta, tetapi juga telah bergeser ke kawasan penyangga seperti Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, A. Koswara menjelaskan, memang ada beberapa dampak buruk pembangunan apartemen. “Tak hanya apartemen, pembangunan properti lain pun memiliki dampak buruk, tetapi semua hal tersebut harus diantisipasi,” kata Koswara dalam acara Media Talkshow bertajuk “Potensi Hunian Vertikal Mendorong Pertumbuhan Kawasan Penyangga Jakarta” yang dihelat Forum Wartawan perumahan Rakyat (Forwapera).
Masalah keselamatan penghuni menjadi prioritas utama, jelasnya. Untuk itu persyaratan dalam pembangunan apartemen harus diperhatikan.
“Tangga darurat menjadi vital. Banyak gedung yang membuat tangga darurat yang menuju lobi. Padahal saat terjadi kebakaran, kawasan lobi tak lagi aman. Untuk itu perlu membuat tangga darurat yang menuju area luar. Tangga darurat juga harus kedap udara, sehingga asap tak masuk. Bisa juga membuat ventilasi ke arah luar, tetapi harus diberi teralis baja,” paparnya panjang lebar.
Di sisi sosial, imbuhnya, pembangunan apartemen memerlukan banyak akomodasi. Pasalnya, kehidupan di apartemen sangat terbatas. “Untuk itu, apartemen di Bekasi harus memiliki ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30%,” katanya.
Ada kalanya, tutur Koswara, warga sekitar proyek apartemen juga melakukan aksi penolakan. Alasannya beragam, mulai kekhawatiran banjir hingga berkurangnya persediaan air tanah.
“Akan tetapi jika memang kawasan tersebut bisa dibangun apartemen, kami akan izinkan,” katanya.
Jangan Terlalu Masif
Sementara itu, Anton Sitorus, Head of Research Savills PCI menjelaskan, apartemen high rise yang tentu saja high density akan memberi ekses sosial. Menilik dampak buruk pembangunan apartemen, dirinya mengusulkan agar Pemda Bekasi membuat regulasi pembangunan hunian low rise dan mid rise.
“Negara-negara maju telah mengalami efek negatif pembangunan hunian vertikal yang terlalu masif atau high density development. Misalnya, Amerika Serikat yang membangun kawasan Bronx,” kata Anton.
Menanggapi hal tersebut, Koswara menguraikan, pihak Pemkot Bekasi telah mengatur pembangunan hunian low rise dan mid rise.
“Tak semua kawasan di Bekasi bisa dijadikan apartemen. Kami juga memprasyaratkan lahan apartemen minimal 5.000 meter persegi. Untuk lahan yang tidak mungkin dibangun apartemen, kami mendorong pembangunan hunian low rise dan mid rise berkisar empat hingga enam lantai, sehingga kapasitas hunian lebih tinggi dari rumah tapak,” jelas Koswara.
KLB Mesti Disesuaikan
Dampak buruk lain dari pembangunan apartemen, imbuh Anton, adalah meningkatnya harga tanah secara signifikan. Jadi, pembangunan apartemen di lokasi yang tidak tepat dapat membuat harga lahan di sekitarnya naik dengan eskalasi yang tak lazim.
“Untuk itu pemerintah daerah perlu membuat regulasi yang mengatur berapa KLB (koefisien lantai bangunan) yang diizinkan. Dan KLB pinggir kota jangan dibuat tinggi,” imbau Anton.
Di sisi lain, Koswara mengatakan, Pemkot Bekasi telah melakukan zonasi tata ruang, yakni kawasan wajib vertikal, prioritas vertikal, dan kawasan yang dapat dibangun hunian tapak.
“Daerah Utara Bekasi, seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Cut Meutia, dan Jalan Juanda, diarahkan menjadi kawasan gedung vertikal dengan KLB mencapai 40 – 45 lantai,” ujarnya.